Penulis
KOMPAS.com – Stres tidak selalu muncul dalam bentuk ledakan emosi atau tekanan besar yang mudah dikenali.
Sering kali, tanda-tandanya muncul halus lewat perubahan perilaku, respons tubuh, hingga cara seseorang merespons situasi sehari-hari.
Psikolog Sani B. Hermawan menjelaskan bahwa stres terjadi ketika seseorang menghadapi tuntutan, tetapi tidak memiliki cukup energi atau kemampuan untuk mengatasinya.
Kondisi ini lantas memengaruhi tubuh dan emosi tanpa disadari.
"Makanya kadang-kadang kalau kita stres tuh ada perilaku (respons tubuh) yang muncul, misalnya, diri kita kagetan, kadang banyak bengong, kadang jadi sensitif," ujar psikolog lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, dikutip dari Antara, Selasa (2/12/2025).
Baca juga: Ibu Rumah Tangga Vs Ibu Pekerja, Siapa yang Lebih Rentan Stres?
Salah satu sinyal stres yang kerap diabaikan adalah meningkatnya sensitivitas emosi.
Seseorang mungkin menjadi lebih mudah tersinggung, gampang marah, atau cepat merasa sedih meski pemicunya sepele.
Respons emosional ini muncul karena otak bekerja lebih keras dalam kondisi tertekan.
Stres bisa muncul dalam bentuk keluhan fisik.
Otot leher dan bahu terasa kencang, dada seperti sesak, atau tubuh terasa mudah lelah meski tidak melakukan aktivitas berat.
Ini terjadi karena hormon stres memicu ketegangan tubuh sebagai mekanisme "siaga".
Sulit tidur, terbangun berulang kali, atau tidur tapi terasa tidak nyenyak dapat menjadi tanda tubuh sedang berada dalam tekanan.
Pikiran yang terus aktif membuat tubuh lebih sulit untuk masuk ke fase istirahat.
"Kita secara emosional jadi mudah marah, atau secara perilaku misalnya jadi enggak bisa tidur, terus secara fisik juga badan juga jadi kayaknya lemas terus, itu kan gejala stres," ungkap Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani itu.
Baca juga: Mengapa Kita Suka Belanja Saat Stres? Ini Penjelasan Psikolog
Stres juga bisa memengaruhi kemampuan seseorang dalam berkonsentrasi.
Seseorang mungkin merasa pikirannya melayang, mudah lupa, atau sering melamun tanpa disengaja karena beban mental yang meningkat.
Ketika stres, tubuh berada dalam keadaan waspada lebih tinggi.
Dampaknya, seseorang bisa menunjukkan respons berlebihan terhadap hal-hal kecil, seperti mudah kaget, cepat panik, atau merasa terancam padahal tidak ada bahaya nyata.
IlustrasiPerubahan perilaku seperti belanja berlebihan tanpa tujuan juga bisa menjadi indikator stres.
Psikolog klinis Olphi Disya Arinda, M.Psi. menyebut kebiasaan meredakan emosi dengan menggunakan uang sebagai financial coping.
Financial coping terjadi ketika seseorang memakai uang atau belanja untuk mengatur emosi, misalnya mencari rasa senang saat sedang sedih atau tertekan.
"Banyak orang yang menggunakan financial coping. Jadi, uang itu bukan cuman alat tukar, bukan alat tukar antarbarang aja, tapi juga alat tukar emosi, yang tadinya sedih biar bisa jadi senang lagi," kata Psikolog Disya seperti dikutip dari Antara.
Menurut Psikolog Disya, bentuknya bisa berupa belanja impulsif, mengambil pinjaman, hingga menghamburkan uang demi mengatasi stres atau rasa tidak aman.
Meski memberi rasa kontrol sesaat, ia menegaskan perilaku ini tidak sehat untuk emosi maupun keuangan.
Baca juga: Menggambar Bisa Jadi Cara Redakan Stres, Ini Cara untuk Memulainya
Relaksasi bukan sekadar cara menenangkan diri. Psikiater menjelaskan, teknik sederhana ini bisa bantu menurunkan stres.Di sisi lain, Psikolog Sani merekomendasikan beberapa cara sederhana untuk membantu tubuh kembali tenang, seperti membatasi konsumsi informasi atau media sosial yang membebani, melakukan teknik relaksasi pernapasan, menekuni aktivitas positif, serta meluangkan waktu untuk diri sendiri.
Jika keluhan berlangsung lama, konsultasi dengan psikolog dapat membantu individu memahami akar masalah sekaligus menemukan strategi pengelolaan stres yang lebih tepat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang