Meski belum membuktikan hubungan sebab akibat secara langsung, Cannon menilai ada mekanisme biologis yang patut diperhatikan.
“Selama lari sejauh 80 kilometer atau lebih, tubuh mengalihkan sebagian besar aliran darah dari saluran cerna ke otot-otot kaki,” ujar Cannon.
Kondisi ini dapat berlangsung selama enam hingga tujuh jam atau lebih, terutama pada ultramaraton.
“Berkurangnya aliran darah ke usus berpotensi menyebabkan iskemia dan memicu kerusakan sel,” kata Cannon.
Baca juga: Mengapa Tidak Boleh Pakai Sepatu Baru Saat Lomba Lari? Ini Kata Dokter
Adapun iskemia merujuk pada kondisi ketika aliran darah ke organ berkurang dalam periode tertentu.
Selain faktor biologis, keterlambatan diagnosis juga dinilai berperan. Cannon menyebut pelari jarak jauh sering mengabaikan gejala gangguan pencernaan.
“Diare atau buang air besar berdarah kerap dianggap sebagai dampak normal dari lari jarak jauh,” ujarnya.
Kondisi ini dikenal sebagai runner’s trots dan dapat membuat tanda awal kanker usus besar luput dari perhatian.
Adapun Cannon menegaskan, temuannya tidak berarti lari maraton atau ultramaraton harus dihindari. Ia mengatakan penelitiannya tidak dimaksudkan untuk menyarankan orang berhenti berlari, tetapi menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap gejala dan perlunya penelitian lanjutan.
Baca juga: 2 Pelari Siksorogo Lawu Ultra Diduga Alami Serangan Jantung, Ini Kata Dokter
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang