Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/07/2017, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Hari-hari pertama di Seoul saya lalui dengan banyak melakukan pengamatan jeli yang biasanya menimbulkan berbagai macam gejolak perasaan menggelitik.

Julukan negri ginseng tidak lagi mengena bagi mereka yang telah begitu melesat jauh dengan teknologi--hal yang tanpa digembar-gemborkan secara narsis, sudah dengan sendirinya melekat.

Bahkan, saat negara-negara adikuasa masih menggunakan motif loreng klasik untuk seragam angkatan bersenjata, Korea Selatan telah menggantinya dengan motif loreng digital yang begitu ikonik mirip jutaan mosaik di atas bahan tebal pakaian tentara mereka.

Melampaui Amerika Serikat yang konon menjadi sang ‘penjaga gawang tersembunyi’, para pemakan Kimchi ini begitu dimanjakan oleh teknologi – yang membuat saya berpikir usil, apa jadinya jika tenaga listrik mendadak padam.

Menghadapi alam pun mereka nampak ogah, kemana-mana kipas angin mini selalu berputar kencang dalam genggaman.

Jika di Eropa dan Amerika sambungan internet masih dianggap mahal, bangsa Hankook ini amat royal dengan wi-fi spot, pendatang tidak pernah kesulitan untuk berkomunikasi lintas benua.

Bodoh memutar mobil di parkiran, mereka juga telah menciptakan alat metal pemutar mobil yang ditanam pada lantai car port atau gang tikus.

Saat saya berpeluh berbusa menjelaskan perbedaan antara bedanya kebutuhan kodrat dan kebutuhan budaya di tanah air sendiri, orang-orang di sini nampaknya secara ‘alamiah’ sudah paham.

Boleh petakilan heboh dengan artificial intelligence dan teknologi ultra modern, tapi mereka memelihara tubuh tetap dengan hukum kodrat. Bukan hukum teknologi.

Semua tingkatan generasi masih makan kimchi, masih bangga dengan gochujang yang kerap dihina orang asing sebagai bumbu pedas aneh berbau, karena proses fermentasi yang tidak pernah digantikan dengan cara apa pun.

Sekali pun banyak negara Asia meniru budaya buka baju di layar perak atau layar kaca dan gaya menyanyi versi bule, mereka ini justru menciptakan genre baru.

Mulai dari Song-Song couple yang menaklukkan dunia patah hati internasional dengan alur cerita cintanya tanpa kancing baju terbuka, hingga K-pop yang tanpa ampun dijiplak telak oleh wajah Indonesia--melihatnya seakan seperti garpu yang dipakai untuk makan sup.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com