Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Melulu di Ilmu, Lupa Hakikat dan Akibat

Kompas.com - 10/11/2017, 11:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

 

Lalu, muncul pertanyaan seperti di lokakarya yang saya isi hari ini,”Bagaimana dong membuat generasi sekarang bisa menikmati makanan asli kita, yang sebetulnya secara turun temurun terbukti sehat?”

Jawabannya sederhana: Makanan itu disukai bukan karena rasanya ‘enak’, melainkan karena proses pembelajaran dan pembiasaan.

Beberapa puluh tahun yang lalu, akses pangan dan variasinya tidak sebrutal hari ini. Bahkan, bisnis yang paling diincar orang sekarang justru seputar makanan. Yang menciptakan kecanduan. Yang bisa direka-rasa dan olah-rupa, sehingga memberi istilah ‘signature dish’ – tiada duanya di tempat mana pun.

Negeri ini kaya dengan soto, sementara orang bule paling banter cuma punya sup ayam dan sup buntut.

Mengapa soto-soto tradisional itu sudah hilang dari meja anak-anak generasi masa kini? Diganti kuah manis bernama dessert dengan taburan biji impor, buah impor, dan rasa impor.

[Baca juga : Negeri Pusing Jadi Bancakan Orang Asing]

Negeri ini juga kaya dengan olahan ayam. Tapi karena diasuh ibu yang pendek pikir dan benaknya masih tertinggal di kantor, generasi milenial ke bawah hanya kenal ayam goreng bersalut tepung.

Padahal ayam itu semakin enak jika dibuat garang asem, dipanggang beralas daun seperti taliwang atau betutu, dijadikan pepes, hingga diberi rempah menjadi opor atau kari.

Kawan-kawan anak saya boleh dijamin makan tempe sebatas mendoan atau tempe goreng. Lidah mereka tidak diajar mengunyah pepes tempe berisi pete dan teri. Padahal, proteinnya setengah mati saratnya.

Sedih melihat generasi baru tumbuh itu mengonsumsi sayur lalap berkiblat bule. Bicara makan sayur lalap sebetulnya tidak sama dengan salad berlumur krim alias dressing yang sekali lagi berisi emulsifier, pengental dan perasa yang sama sekali di alam tidak ada – bahkan potensial menyebabkan penyakit baru.

[Baca juga : Tingkat Kepercayaan: Edukasi, Inspirasi atau Sensasi?]

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com