Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/11/2017, 15:16 WIB
Dimas Wahyu

Penulis

KOMPAS.com - Namanya Muhammad Tulus. Orang-orang kemudian mengenalnya dengan nama Tulus, penyanyi dan penulus lagu dengan karya musik populernya, seperti “Monokrom”, yang dapat menyentuh hati para pendengarnya.

Memahami syair lagu karya Tulus bagi sebagian orang tak cukup dengan hanya mendengarkannya sekali karena maknanya yang dalam. Berkat karya-karya yang penuh rasa inilah banyak orang jatuh cinta dengan lagu-lagu dari pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, ini.

Di Sumatera pula, tepatnya di Bukittinggi, tempat bentangan alam seperti Ngarai Sianok, budaya aslinya menambahkan "rasa" pada masa kecil Tulus.

Di Sumatera juga, suara dendang sang ibu menyusup dalam tidurnya. Siapa sangka, akhirnya itu pula yang menjadi benih bagi jalan hidupnya kelak sebagai penyanyi, seperti yang kita kenal saat ini.

”Dulu, waktu kecil saya setiap hari dengar ibu saya nyanyi, setiap malam sebelum tidur. Lagunya banyak banget. Lagu-lagunya Broery Marantika dan Rinto Harahap. Di alam bawah sadar, hal itu mungkin memengaruhi saya,” ujar Tulus ketika berbincang dengan Kompas, Minggu (20/4/2014).

Lagu dan nyanyian itu pada akhirnya bertahan di diri Tulus, manakala guru wali kelasnya saat SD memintanya menyanyi di sebuah acara.

”Beberapa waktu lalu, saya sempat bertemu Bu Ezi. Beliau masih ingat benar sewaktu saya bernyanyi semasa SD. Almarhumah Ibu Nur, guru Seni Suara saya semasa SD, juga pernah menyampaikan, saya bisa jadi penyanyi bila saya mau. Ucapan itu saya ingat terus hingga saat ini,” kata Tulus.

Mimpi Tulus untuk berkarya di bidang musik kian tumbuh. Namun, hal tersebut baru diwujudkannya setelah mengejar pendidikan S-1 Teknik Arsitektur di Universitas Parahyangan, Bandung.

Ia mulai mencoba bernyanyi dari panggung ke panggung di masa kuliah sambil memperkaya wawasan dari musik Tony Bennett, Frank Sinatra, Chrisye, Ruth Sahanaya, dan Amy Winehouse sampai akhirnya membuat lagu pada tahun 2008 untuk menyampaikan apa yang dia rasakan.

Tahun 2009, Tulus membuat demo dan mengajukannya ke beberapa perusahaan rekaman besar. Namun, Tulus justru tertantang untuk mencoba jalur independen. Menurut dia, jalur independen membuatnya dapat bebas berekspresi dalam berkarya.

”Akhirnya saya memutuskan untuk independen dengan dukungan dari keluarga saya. Saya tidak ada perasaan takut untuk tidak didengar. Saya yakin, mau sedikit mau banyak, akan ada ruang untuk karya musik saya," kata Tulus.

Ia kemudian merilis album musik Tulus (2011), Gajah (2014), dan Monokrom (2016) melalui TulusCompany, sebuah label rekaman independen yang seperti dituturkan di situs pribadinya didirikan oleh dirinya bersama kakak sulungnya, Riri Muktamar.

Pada awal tahun 2016, Tulus merilis single terbarunya yang berjudul “Pamit”, yang kemudian masuk dalam album Monokrom, termasuk kesempatannya untuk membuat lima lagu yang berkolaborasi dengan salah satu kelompok orkestra terbesar di Eropa, The City of Prague Philharmonic, di Ceko.

Jakarta International Java Jazz Festival, Music Matters Festival Singapore, The World Music Festival in Hamamatsu, hingga Melbourne Town Hall, Australia, adalah sebagian dari jawaban mimpinya, mengiringi langkah-langkah besarnya dalam musik, di luar enam konser solonya, dari Tulus: An Introduction (2011) hingga Konser Gajah Tulus Yogyakarta (2015).

Oleh karena itu pula, tidak jarang, aktivitas-aktivitas tersebut menguras tenaga Tulus.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com