Oleh: Fauzi Ramadhan dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Memiliki penampilan fisik yang rupawan merupakan impian bagi banyak orang. Tak heran, berbagai usaha-usaha untuk memperbaiki dan mempercantik diri dilakukan demi mencapai tubuh yang ideal, terlepas dari berapapun biayanya.
Namun, terdapat suatu kenyataan pahit yang tak banyak orang ketahui, yaitu memiliki penampilan rupawan tak selamanya menyenangkan. Tak jarang ditemukan kasus-kasus cemoohan sekaligus diskriminasi dari masyarakat terhadap mereka.
Hal ini didasari dengan adanya sentimen negatif kepada seseorang yang memiliki penampilan rupawan. Misalnya, bila seorang lelaki dianggap terlalu tampan, ia kerap distereotipkan sebagai playboy. Sementara itu, perempuan yang dianggap terlalu cantik kerap distereotipkan sebagai tak cerdas.
Menurut Ayoe Sutomo, seorang psikolog anak, remaja, dan keluarga, fenomena ini dapat didefinisikan sebagai beauty shaming.
Ia lantas memberikan pandangannya mengenai hal ini melalui episode siniar (podcast) Semua Bisa Cantik bertajuk “Beauty Shaming: Diremehkan karena Penampilan, Perempuan Harus Apa?” di Spotify.
Mengutip dari Stylo Indonesia, beauty shaming merupakan kegiatan mempermalukan orang lain karena kondisi fisik atau penampilan mereka, misalnya dengan mengucapkan perkataan-perkataan berikut:
“Ya iyalah, dia mah cantik!”
“Orang cantik kayak kamu cuma bisa main gincu aja…”
“Kulitmu gelap sekali, ga pernah diurus, ya?”
Mirisnya, sering kali tindakan atau perkataan beauty shaming dianggap sebagai hal yang lumrah. Bahkan hanya dianggap remeh dan dijadikan bahan bercandaan.
Baca juga: Mengapa Relasi Kuasa Bisa Menyebabkan Body Shaming?
Lebih parahnya lagi, dalam konteks sesama perempuan, Ayoe mengungkapkan kalau beauty shaming ini juga dapat memicu internalized misogyny.
Secara singkat, University of Missouri-Kansas City mendefinisikan internalized misogyny sebagai situasi ketika suatu pihak perempuan secara tidak sadar memproyeksikan ide-ide seksis, seperti beauty shaming, terhadap perempuan lain dan bahkan ke diri mereka sendiri.
Padahal, sudah seharusnya sesama kaum perempuan untuk saling membantu dan mendorong ke arah yang lebih baik. Bukan justru sebaliknya.
Jika sudah sejauh ini, dikhawatirkan beauty shaming dapat membawa dampak negatif secara berkepanjangan, mulai dari kecemasan, rendahnya rasa percaya diri, sampai depresi.