Oleh: Fauzi Ramadhan dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Tidak semua pasangan mampu mengusahakan hubungan yang sehat. Di luar sana, ada banyak pasangan yang harus menghadapi kenyataan dengan sebaliknya.
Alih-alih menjadi sumber kebahagiaan, hubungan yang mereka jalani justru berada dalam sebuah “racun” atau kerap disebut sebagai toxic relationship.
Istilah toxic relationship pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Lillian Glass, seorang ahli komunikasi dan psikologi asal Amerika Serikat, dalam bukunya yang bertajuk Toxic People pada 1995.
Dalam buku tersebut, dikutip dari Time, Glass mendefinisikan toxic relationship sebagai, “jenis hubungan yang antara pihaknya tidak saling mendukung dan penuh konflik, bahkan menjatuhkan satu sama lain.
Mereka juga lebih mengedepankan kompetisi yang minim respek dan kekompakkan.”
Toxic relationship ini bisa dialami oleh siapa saja. Bisa saja kita adalah pelaku atau korbannya. Namun, dalam beberapa kesempatan, orang yang mengalaminya tidak menyadari kalau mereka sedang berada di hubungan ini.
Misalnya seperti yang dialami oleh Anya dalam siniar (podcast) Anyaman Jiwa edisi Kisah Anya dan Adji episode “Terjebak di Hubungan yang Kurang Sehat” di Spotify.
Setelah sekian lama tidak berjumpa dengan sahabatnya, Adji akhirnya melangsungkan pertemuan dengan Anya. Berharap disambut dengan kabar baik, Adji justru harus mendengarkan keluh kesah Anya yang terjebak dalam hubungan toksik bersama pacar barunya.
Kira-kira, bagaimana respons Adji ketika mendengar sahabatnya diperlakukan demikian, ya?
Baca juga: Toxic Relationship, Begini Tanda-tandanya
Setiap hubungan memiliki pasang surutnya masing-masing. Namun, tidak demikian dengan toxic relationship.
Toxic relationship justru menjebak mereka yang mengalaminya dengan konflik berkepanjangan dan terus berulang. Sampai-sampai kebahagiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama dari hubungan justru tertutupi dengan momen-momen negatif akibat perkelahian terus-menerus.
Apabila toxic relationship ini terus berlanjut, kesehatan mental, emosional, dan bahkan fisik kelak menjadi taruhannya.
Sesungguhnya, toxic relationship bukanlah hal yang mutlak terus-menerus terjadi. Kita bisa mencegahnya, bahkan memperbaikinya–asalkan pihak-pihak dalam hubungan berkomitmen.
Carla Marie Manly, seorang psikolog klinis sekaligus penulis buku Joy From Fear, mengingatkan, “Jika hanya satu pihak yang mengusahakan terjadinya hubungan sehat, disayangkan sekali bahwa kecil kemungkinan perubahan positif (dari toxic relationship) terjadi.”