Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya

Ricuhnya temuan sekian ratus anak gizi buruk di kabupaten Asmat dan merebaknya campak yang merenggut nyawa, mungkin bisa menjadi penggugah tentang apa yang perlu diingat saat semua orang berpusat pada tayangan Pilkada. Dan tentunya, harga mahal yang harus dibayar jika uang tersedot ke sana.

Saat tulisan ini dibuat, saya berada di kawasan super megapolitan yang rasanya semua orang ingin punya kesempatan untuk berkunjung dan mengagumi Burj Khalifa sebagai ikonnya.

Dubai menghapus pandangan orang tentang banyak hal sekaligus membangunkan inspirasi baru seputar manusia dan komunitasnya. Hubungannya dengan gizi buruk di Asmat? Ada, erat dan masuk akal.

Penduduk Dubai asli sesungguhnya hanya kurang dari 20 persen. Dipisahkan hanya oleh laut Arab, di seberang jazirah ini terdapat daratan India, Pakistan dan Bangladesh.

Bisa ditebak, juraganDubai mempekerjakan para pendatang yang menguasai 80 persen populasi penduduk.

Filipina sebagai ‘pemasok tenaga kerja wanita’ juga memberikan aksen pada komunitas pekerja di negri sarat kemewahan ini.

Bagaikan benang halus tak kasat mata, namun bisa dirasakan – nampak jelas perbedaan para Emirati dan ekspatriat.

Terbalik jauh dengan yang kita saksikan di Indonesia, dimana justru kaum ekspat seakan-akan menjadi juragan dan penduduk lokal hanya bekerja sebagai pelayan mereka.

Dubai tempat para pendatang berebut mendapatkan pasar dan mengiba pekerjaan kepada Emirati yang jumlahnya tidak banyak, tapi memegang kendali dan modal.

Sementara di tanah air, justru penduduk lokal yang ratusan juta ini tidak punya kendali apalagi modal. Bahkan, sampai harus menawarkan pasar ke luar dan menjajakan diri.

Oh maaf, penduduk lokal kita memang masih ada segelintir yang pegang kendali – yang jika menyalahgunakan modal (yang bukan milik pribadi), maka tidak heran situasi Asmat akan terus terjadi berulang.

Sejawat saya yang sudah menjadi perempuan beranak dua itu adalah dokter keturunan Cina yang begitu cinta dengan Papua. Ia menangis dan rindu ingin ‘pulang ke Papua’.

Kendala terbesar saat masa tugasnya berakhir adalah keterbatasan pendidikan untuk anak-anaknya sendiri.

Ia pemakan ulat sagu, yang katanya enak luar biasa seperti daging ayam dan papeda ikan kuah kuning pun jadi menu andalan, agar anak terbebas dari stunting.


Lempar kangkung tumbuh kangkung, tancap pisang muncul pisang lagi – mustahil Papua menderita gizi buruk, jika semua orang bekerja sesuai dengan kompetensi dan amanat.

Faktanya, pendatang atas nama perusahaan asing bermodal kekuatan kontrak bersliweran mengeruk Papua hingga lubang besar menganga di tengah pulau berlimpah emas dan simpanan kekayaan bumi yang sengaja Tuhan titipkan.

Dokter perusahaan asing menikmati banyak fasilitas termasuk kemudahan – dan agar tidak terlalu mencolok, tentu program kesehatan bukan cuma dinikmati pekerja perusahaan.

Mereka juga menaburkan ‘icip-icip’ berobat gratis untuk ‘penduduk sekitar’ yang hanya sekian persen dibanding total populasi Papua.


Papua Bagaikan Afrika di Tanah Air Indonesia

Di sisi lain, mayoritas rakyat pedalaman tak terjamah, hidup di tengah rawa dan mencari makan di hutan hingga kehilangan makna.

Yang amat menarik, pemerintah daerahnya justru ‘terkejut’ mendengar penderitaan sekian banyak rakyatnya lewat pemberitaan media. Begitu mengerikannya otonomi berada di tangan yang khilaf amanat.

Rakyat Papua mustahil memahami Gerakan Masyarakat Hidup Sehat sebagai Inpres pertama di bulan Januari 2017.

Sudah setahun gaungnya, deklarasinya, semboyannya, beredar – di level pelatihan dan sosialisasi pejabat kesehatan.

Padahal, Germas bukan urusan kesehatan saja. Kerja ramai-ramai borongan antar kementerian, lintas dinas. Demi percepatan pembangunan – agar sehat rakyatnya, kuat bangsanya.

Bahagia belum tentu, karena semua harus punya budaya kerja yang baru, bernama revolusi mental – jargon sulit karena mentalitas secara psikologi sosial sudah menjadi ‘normalitas’ sehari-hari.

Sayangnya, - jangankan Germas, penduduk Papua barangkali hanya kenal istilah ‘pengobatan gratis’ menjelang Pilkada.

Dan di saat deru angin gizi buruk melanda, bisa jadi bagi-bagi susu formula dan makanan kemasan menjadi metode baru menarik simpati, sekaligus cara baru mematikan generasi emas Papua.

Sementara, seorang perempuan di sana biasa melahirkan 10 hingga 12 kali sepanjang hidupnya, dan terbiasa dengan sekian banyak balitanya yang mati.

Papua jadi mirip wajah Afrika di tanah air sendiri. Anak-anak di pedalaman berperut buncit akibat cacingan atau pembesaran limpa, karena malaria.

Sedangkan, sebagian kecil oknum dewasanya di kota berperut buncit, akibat makan berlebihan dan mulai menderita hipertensi serta diabetes akibat makan nasi seperti orang Jawa dan sarapan roti.

Menjadi ‘tuan yang miskin’ di tanah yang kaya, sungguh ironi bagi masyarakat Papua. Lebih miris lagi, pendatang menggerogoti sambil membiarkan mereka tetap miskin dan bodoh.

Sehingga, ada alasan jika publik dunia mempertanyakannya. Orang Papua malas dan bodoh. Sial sekali.

Dibutuhkan lebih dari sekadar sistem, survailans, atau semua program-program bagus yang tercetak di brosur dan buku modul yang menghabiskan uang itu.

Bisa jadi pemimpin Papua harus dipilih dengan cara yang ‘agak sedikit beda’ persyaratannya, mengingat medannya berbeda.

Atau pelatihan-pelatihan jangan lagi diadakan di pusat, melainkan yang memberi pelatihan justru masuk ke kabupaten yang penuh rawa dan parasit malaria itu. Berhadapan langsung dengan isolasi geografis dan tradisi. Nah, baru cocok dengan realita.

Di tengah prihatinnya kita dengan ini semua, semoga publik tidak lagi dibutakan oleh foto-foto artis Indonesia yang berlibur dengan harta karun milyaran dan memberikan ilusi palsu tentang kebahagiaan.

Sebab faktanya, Dubai yang bergelimang emas berlian pun tidak memberikan ‘vibe’ soal harga nilai kemanusiaan. Karena harta manusia dan harga manusia, perbedaannya amatlah jauh sekali.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/01/19/190711220/papua-mereka-dimiskinkan-di-tanah-yang-kaya

Terkini Lainnya

Bisakah Obat Kumur dan Benang Floss Menggantikan Pasta Gigi?
Bisakah Obat Kumur dan Benang Floss Menggantikan Pasta Gigi?
Wellness
Ice Facial Viral di Media Sosial, Ini Manfaat dan Cara Aman Melakukannya
Ice Facial Viral di Media Sosial, Ini Manfaat dan Cara Aman Melakukannya
Wellness
Perhatikan 3 Hal Ini Saat Membeli Perhiasaan Emas, Jangan Sampai Rugi
Perhatikan 3 Hal Ini Saat Membeli Perhiasaan Emas, Jangan Sampai Rugi
Fashion
Mengapa Anak di Bawah 16 Tahun Dinilai Belum Siap Bermedia Sosial?
Mengapa Anak di Bawah 16 Tahun Dinilai Belum Siap Bermedia Sosial?
Parenting
6 Zodiak yang Bisa Menikmati Waktu Sendiri Tanpa Kesepian, Ada Aquarius
6 Zodiak yang Bisa Menikmati Waktu Sendiri Tanpa Kesepian, Ada Aquarius
Wellness
4 Zodiak Dikenal Paling Penyayang pada Hewan Peliharaan, Siapa Saja?
4 Zodiak Dikenal Paling Penyayang pada Hewan Peliharaan, Siapa Saja?
Wellness
Tips Mix and Match Kebaya Encim, Warna Kontras Bikin Lebih Hidup
Tips Mix and Match Kebaya Encim, Warna Kontras Bikin Lebih Hidup
Fashion
Luna Maya Pilih Olahraga Pagi demi Kebugaran dan Kesehatan Mental
Luna Maya Pilih Olahraga Pagi demi Kebugaran dan Kesehatan Mental
Wellness
Menjajal Facial Brightening untuk Wajah Tampak Cerah dan Segar
Menjajal Facial Brightening untuk Wajah Tampak Cerah dan Segar
Beauty & Grooming
Prediksi Shio Kuda Api 2026, Disebut Penuh Peluang Besar
Prediksi Shio Kuda Api 2026, Disebut Penuh Peluang Besar
Wellness
Kebutuhan Psikologis Anak 5-12 Tahun, dari Bermain hingga Rasa Aman
Kebutuhan Psikologis Anak 5-12 Tahun, dari Bermain hingga Rasa Aman
Parenting
Rasa Bersalah Ibu pada Anak, Kapan Masih Wajar dan Kapan Perlu Diwaspadai?
Rasa Bersalah Ibu pada Anak, Kapan Masih Wajar dan Kapan Perlu Diwaspadai?
Parenting
Cinta Laura Ajak Konsisten Hidup Sehat, Mulai dari Langkah Kecil
Cinta Laura Ajak Konsisten Hidup Sehat, Mulai dari Langkah Kecil
Wellness
Perjalanan Cinta Tiffany Young dan Byun Yo Han, Sudah Ada Rencana Menikah
Perjalanan Cinta Tiffany Young dan Byun Yo Han, Sudah Ada Rencana Menikah
Wellness
Momen Taylor Swift Telepon Travis Kelce di Eras Tour, Saling Dukung Meski LDR
Momen Taylor Swift Telepon Travis Kelce di Eras Tour, Saling Dukung Meski LDR
Relationship
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com