Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kepahlawanan dan Keberanian, Kenapa Berbeda pada Tiap Orang?

KOMPAS.com - Banyak yang berbicara tentang keberanian Aaron Feis, seorang pelatih sepakbola di sekolah menengah atas, yang rela mengorbankan dirinya saat tragedi penembakan di Marjory Stoneman Douglas High School di Parkland, Florida, AS.

Kalau di Indonesia, mungkin tak ada yang lupa dengan sikap pemberani yang ditunjukkan Riyanto, misalnya. 

Dia adalah anggota Banser satuan koordinasi cabang Kabupaten Mojokerto, yang rela berkorban demi menyelamatkan ratusan nyawa jemaat gereja saat serangan bom di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, tahun 2000 silam.

Video: Mengenang Riyanto Sang Pejuang Kemanusiaan

Keberanian dua orang tersebut memang luar biasa. Tentu, tak banyak orang yang memiliki keberanian sebesar mereka.

Lalu, mengapa ada orang-orang di dunia ini yang memiliki keberanian lebih tinggi daripada lainnya?

Menurut Frank Farley, seorang psikolog dari Temple University di Philadelphia, AS, kondisi tersebut memang tidak dapat sepenuhnya dipahami.

"Belum ada banyak studi ilmiah aktif tentang kualitas tertentu yang terlibat dalam sikap kepahlawanan ini. Kami tidak memiliki profil heroik yang tepat," katanya.

Namun, menurut Frank Farley, ada tiga jenis sikap kepahlawanan yang umum.

Tipe pertama yaitu pahlawan situasional, di mana tipe ini menunjuk pada seseorang yang mempertaruhkan nyawa untuk orang lain pada saat krisis. Namun dia belum pernah melakukan hal seperti itu di masa lalu.

"Ini jenis yang paling sulit dipahami," kata Farley.

Tapi, dia mengatakan, jenis kepahlawanan ini sering diingat sebagai kebaikan dan kemurahan hati selama hidup mereka. Kualitas seperti ini banyak dikenal oleh orang.

"Lalu ada pahlawan seumur hidup, di mana sikap kepahlawanan ini hampir mendefinisikan kehidupan orang itu," kata Farley.

Menurut Farley, sikap kepahlawanan seperti ini bisa kita temukan pada sosok Dr. Martin Luther King, Jr.

"Kepahlawanan mereka biasanya tidak selamanya melibatkan peperangan tapi bertentangan dengan sistem," ucap dia.

Sementara itu, tipe kepahlawanan ketiga menurut Farley berkaitan dengan profesi mereka. Hal ini bisa kita temukan pada polisi, pemadam kebakaran, atau personel militer.

"Dalam arti tertentu, kepahlawanan mendefinisikan sebagian dari pekerjaan mereka."

"Saya kebetulan percaya banyak orang yang masuk ke kategori ketiga ini cenderung menjadi pengambil risiko," ucap Farley.

"Tidak selalu, tapi ada kecenderungan untuk orang-orang yang secara sukarela pergi berperang atau menjadi petugas polisi dan petugas pemadam kebakaran - ini adalah karir yang sangat berbahaya," kata dia.

Farley juga menjelaskan, mereka yang pemberani biasanya memiliki kombinasi kualitas antara pencarian risiko, kemurahan hati, dan empati.

Namun, Farley juga berpendapat, kualitas tersebut adalah hal yang membedakan mereka.

Baca: Benarkah Orang Baik Rentan Depresi?

"Kalian bisa menjadi pengambil risiko dan melakukan hal-hal menakjubkan, tapi kalian mungkin kehilangan 'faktor G' - kemurahan hati dan altruisme," papar Farley.

Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri.

Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama.

Lalu, faktor pendidikan, -bukan hanya sifat alamiah, juga bisa berperan. Orang yang berani cenderung tumbuh dalam keluarga di mana ajaran moral dihargai, seperti kejujuran, dan integritas.

"Orang-orang yang mungkin lebih dapat mengambil risiko memiliki kecerdasan tinggi, pendidikan tinggi, keterikatan yang aman dalam kehidupannya- kehidupan keluarga yang stabil," ucap Charles Marmar.

Charles Marmar adalah profesor dan ketua psikiatri di NYU Langone Health.

Philip Zimbardo, seorang profesor psikologi di Stanford University, yang mempelajari tentang kepahlawanan, mengatakan, DNA dan kimia otak dapat berperan dalam menentukan sifat kepahlawanan.

Sayangnya, belum ada riset yang mengkonfirmasi pendapat tersebut.

"Mungkin ada gen pahlawan. Mungkin itu juga karena kadar oksitosinnya. Kita tidak tahu pasti," tulis Zimbardo dalam sebuah artikel di amjalah Greater Good.

Meskipun demikian, Farley mengatakan, hal terpenting adalah orang harus terus fokus pada tindakan berani yang keluar dari peristiwa traumatis.

"Kita perlu memuliakan para pahlawan. Jangan bersikap anti pahlawan," katanya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/03/01/200000920/kepahlawanan-dan-keberanian-kenapa-berbeda-pada-tiap-orang-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke