Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Mahakarya Batik 3 Negeri yang Melegenda...

Ny. Tjoa Giok Tjiam adalah pengusaha batik peranakan yang pertama kali mempopulerkannya pada 1910.

Rasanya tak berlebihan jika memberi label masterpiece untuk Batik Tiga Negeri, mengingat batik tersebut sudah ada sejak 100 tahun lalu.

Batik Tiga Negeri secara umum memiliki tata warna merah, biru, dan soga dengan motif utama berupa buketan.

Daun dan bunga pada motif batik seringkali dicelup warna merah dan biru. Sementara, latarnya berwarna soga.

Batik dengan tata warna demikian di Solo dikenal sebagai batik Gendologiri.

Nama "Batik Tiga Negeri" konon terinspirasi dari cerita Sam Kok (Tiga Negara) yang menjadi legenda dari Tiongkok.

Batik bergaya Tiga Negeri ini sangat disukai dan laku keras di daerah Jawa Barat. Alhasil, terbuka peluang bagi para pengusaha batik peranakan lainnya di Solo untuk memproduksi batik sejenis dengan nama sama.

Unik

Proses pembuatan Batik Tiga Negeri terbilang unik, karena dilakukan di sentra batik berbeda. Batik Tiga Negeri buatan keluarga Tjoa dibuat di dua tempat, yaitu di Lasem dan Solo.

Warna merah dibuat di Lasem, sedangkan warna biru dan soga dibuat di Solo.

Batik Tiga Negeri Solo selalu dibuat dengan teknik tulis bolak-balik di kedua sisi kain (diterusi).

Sementara, pewarnaan dilakukan dengan teknik celup, meskipun warna-warna tertentu pada motif dibuat dengan teknik colet, -misalnya warna ungu.

Tak hanya proses pembuatannya yang unik, tetapi desain dan tata warna Batik Tiga Negeri juga unik.

Sebab, batik ini memadukan tradisi batik pesisir dengan batik pedalam di Jawa Tengah.

Semuanya menggambarkan perpaduan budaya yang tampil serasi dalam keindahan yang memanjakan mata.

Dalam perkembangannya, banyak dilakukan inovasi tata warna dan isian latar, terutama oleh generasi ketiga keluarga Tjoa.

Latar kain yang awalnya berwarna soga dengan isian ukelan berganti menjadi warna hijau, biru, biru muda, hijau muda, merah marun, hingga ungu.

Isen-isen yang digunakan pada latar kain pun bervariasi. Di antaranya latar galatan, kembang pacar, pasir, dan mutiara.

Inovasi

Dalam sebuah sesi talkshow bersama keluarga Tjoa, Sabtu (27/10/2018) lalu, Tjoa Siang Swie -salah satu generasi ketiga keluarga Tjoa, menjelaskan, inovasi dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar.

Karena Batik Tiga Negeri laku keras di tanah Sunda, maka mereka menciptakan inovasi dengan latar warna merah, warna kesukaan masyarakat di daerah tersebut.

"Supaya orang tidak jenuh. Karena kebanyakan kan sudah memiliki semua jenisnya, jadi kami ciptakan (isen) macam-macam supaya yang sudah punya dan belum punya beli juga."

Begitu kata Siang Swie dalam sesi talkshow yang digelar di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan itu.

Daerah di Jawa Barat yang paling menggemari Batik Tiga Negeri antara lain Bandung, Garut dan Tasikmalaya.

Batik Tuga Negeri digunakan hampir pada setiap siklus kehidupan masyarakat Sunda di Jawa Barat.

Seperti kelahiran, peningset, hingga menjadi bagian dari seserahan yang dibawa calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan para rangkaian upacara pernikahan.

Namun, saat ini tak hanya masyarakat Sunda di Jawa Barat yang terpikat dengan kecantikan Batik Tiga Negeri.

Batik legendaris tersebut kini mendapat tempat istimewa di hati para pencinta batik Indonesia.

Berhenti produksi di 2014

Batik Tiga Negeri buatan keluarga Tjoa telah diproduksi selama tiga generasi, mulai 1910 hingga 2014.

Seperti lazimnya usaha yang dikelola oleh keluarga peranakan, usaha batik keluarga Tjoa kemudian dilanjutkan oleh kedua anak laki-laki mereka.

Para istri dari anak laki-laki Tjoa diajarkan membatik langsung oleh Ny. Tjoa Giok Tijam.

Setelah pandai membatik, para nyonya inilah yang memegang peranan penting dalam produksi batik.

Sedangkan, para suami berperan sebagai peracik warna, sebab resep racikan warna hanya diwariskan kepada anak laki-laki.

Tradisi ini berlangsung dari generasi ke generasi.

Batik Tiga Negeri yang diproduksi oleh masing-masing generasi memiliki ciri khas tersendiri.

Generasi pertama dan kedua, misalnya, cenderung masih mempertahankan ciri Batik Tiga Negeri klasik dengan tata warna merah, biru, dan soga serta latar ukelan.

Motif binatang, tanaman dan bunga- bunga berukuran kecil masih dijumpai pada latar kain, tersebar di antara motif utama buketan.

Sementara generasi ketiga sudah lebih banyak melakukan inovasi, terutama dalam tata warna dan isen-isen latar atau tanahan.

Sayangnya, Batik Tiga Negeri keluarga Tjoa berhenti produksi pada akhir tahun 2014. Batik Tiga Negeri keluarga Tjoa pun kini kian langka.

Tjoa Siang Swie merupakan generasi terakhir yang memproduksinya.

Selain karena usia yang tidak muda (Siang Swie berusia 75 tahun, istrinya Sie Hing Kwan berusia 70 tahun), kesulitan mencari tenaga kerja menjadi hambatan lainnya.

Sulit

Siang Swie mengatakan, tidak mudah mencari orang-orang yang mampu membuat batik sesuai standar Batik Tiga Negeri keluarga Tjoa.

"Kadang kan batik ada yang kasar. Kalau batik kita jadi kasar kan ya enggak mau, halus supaya bisa memenuhi standar kita."

"Cari itu sulit sekali, mengajari tidak semudah itu," kata dia.

Proses pembuatan Batik Tiga Negeri memang tidaklah mudah, dan dibutuhkan waktu yang lama.

Pengerjaannya bisa mencapai waktu delapan bulan untuk satu kain dan dikerjakan oleh banyak orang.

Selain itu, harus dipastikan bahwa batik dikerjakan dengan baik pada setiap proses.  "Banyak yang sudah enggak mau, lari ke pabrik, kantor," ucapnya.

Hing Kwan menambahkan, ketersediaan bahan juga menjadi kendala lainnya. Ditambah lagi dengan biaya produksi yang semakin tinggi.

Pada bulan-bulan akhir masa produksi, pihaknya hanya menghasilkan 46 kain dalam sebulan.

Padahal, keluarga Tjoa sebelumnya bisa memproduksi hingga 200-250 kain batik setiap bulannya.

Hanya saja, jumlah tersebut memang tidak pasti.

"Cost-nya lama-kelamaan menjadi mahal. Lalu kami putuskan berhenti," tutur Hing Kwan.

Ketika memutuskan untuk berhenti produksi, Siang Swie dan istri memang agak berberat hati. Apalagi produksi Batik Tiga Negeri keluarga Tjoa sudah dilakukan sejak 1910.

"Iya sayang. Tapi karena kendala tenaga kerja, bahan, kami sudah tua, ya sudah gimana lagi, kami memutuskan berhenti," tutur dia.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/30/080000420/mengenal-mahakarya-batik-3-negeri-yang-melegenda-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke