Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita Mereka yang Terus Berlari meski dalam Keterbatasan...

MAGELANG, KOMPAS.com - Kekurangan tak membatasi semangat Wuryanto Catur Nugroho alias Gucir untuk mengikuti ajang lari Borobudur Marathon 2018.

Pria yang telah menginjak usia separuh abad ini tak merasa minder, dan tetap percaya diri untuk memenangi kompetisi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah itu.

Yah, Gucir memang tunawicara dan tunarungu. Bahkan, saat tim Kompas.com berbincang-bincang dengannya, ada sedikit kendala yang muncul.

Pria asal Magelang ini menggunakan bahasa isyarat dan tulisan untuk berkomunikasi sehari-hari. Namun, kekurangan baginya bukan berarti batasan untuk berprestasi.

"Bagi saya, lari itu untuk siapa saja. Bukan hanya untuk mereka yang terlahir normal," ungkap Gucir dengan bahasa tulisan.

Berlari tanpa sepatu

Layaknya para atlet yang sedang berjuang dalam perlombaan, para peserta dalam ajang ini juga melengkapi dirinya dengan atribut yang membuat mereka nyaman.

Salah satunya, -tentu saja, memakai sepatu khusus untuk berlari.

Namun, pria asli Magelang ini terbilang nekat. Ia justru mengikuti ajang yang telah mengantongi sertfikat International Association of Athletics Federation (IAAF) ini dengan bertelanjang kaki.

"Saya memang terbiasa ikut lomba lari tanpa memakai sepatu," aku Gucir yang ia selingi dengan bahasa isyarat.

Pria bertubuh tegap itu nampaknya merasa lebih nyaman berlari tanpa alas kaki. Bahkan, ia yang berkali-kali mengikuti berbagai perlombaan, mengaku tak pernah memakai sepatu.

Baginya, lari tanpa alas kaki justru lebih menyehatkan dan membuat otot kakinya lebih kuat.

"Sebenarnya, kemarin saya ke toko membeli sepatu. Tapi, saya lupa memakainya. Saya pelupa," akunya.

Menembus keterbatasan

Gucir bercerita, dia pernah memenangi medali emas dalam perlombaan lari di tahun 2000.

Pada momen itu, Gucir berhasil menaklukan rute sejauh 20 kilometer tanpa menggunakan alas kaki.

Tak hanya berlari, pria yang berprofesi sebagai pegawai swasta ini juga hobi bersepeda.

"Saya juga suka bersepeda. Bahkan, pernah bersepeda sejauh 75 kilometer," ungkapnya.

Apa yang telah diraih oleh Gucir tak lain juga berkat jerih payah sang guru yang bernama Mujiyono.

Sayangnya, orang yang berjasa dalam hidupnya itu meninggal di tahun 2012.

"Dia yang melatih saya berlari sampai menjadi atlet. Dia pelari yang hebat," kenangnya.

Agar selalu tampil maksimal dalam setiap perlombaan yang ia ikuti, Gucir tak pernah lelah untuk berlatih lari hampir setiap hari.

Baginya, kerja keras adalah upaya untuk menembus keterbatasan dalam hidupnya.

Tak cuma Gucir

Gucir bukan satu-satunya atlet yang memiliki keterbatasan, Yudi, yang merupakan kawan Gucir juga turut menyemarakan perhelatan lomba lari tahunan ini.

Pria yang memiliki kondisi yang sama dengan Gucir ini mengaku masih belum profesional sebagai atlet lari.

"Saya baru tahun 2016 mulai mencoba ikut perlombaan," ungkapnya.

Berbeda dengan Gucir, pria 39 tahun itu mengaku tak memiliki pelatih khusus, dan lalu berlatih secara otodidak.

"Saya tidak punya guru, hanya komunitas tunarungu saja," akunya.

Yudi menyebut, komunitas yang mewadahinya itu bernama Komunitas Deaf, yang diketuai oleh seorang pria bernama Chandra.

"Biasanya, saya berlatih lari setiap hari minggu. Yah, berkat komunitas itu, saya menjadi percaya diri untuk terus berkarya dan berprestasi," ungkap Yudi.

Semangat Gucir dan Yudi memang patut diapresiasi. Mereka seolah mengajari kita agar tetap semangat untuk berprestasi dan berkarya meski hidupnya diselimuti dengan keterbatasan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/11/17/113715920/cerita-mereka-yang-terus-berlari-meski-dalam-keterbatasan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke