Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mampir ke Pasar Cihapit, Kamp Tawanan Jepang yang Jadi Surga Kuliner

Beruntung, lorong di antara pertokoan yang menghubungkan Jalan Cihapit dan Pasar Cihapit mampu membuat pengunjung terlindung dari air hujan.

Ya, suasana Pasar Cihapit memang berbeda dari beberapa tahun yang lalu. Kini, pasar legendaris di Bandung ini menjadi lebih bersih.

Lantainya beralaskan keramik putih. Bagian atap dihiasi kain warna warni didominasi hijau dan kuning yang menjadi warna Pemerintah Kota Bandung.

Menyusuri Pasar Cihapit, bagi sebagian orang adalah menapaki kenangan.

Umurnya yang sudah tua, sejak zaman Belanda, membuat pasar ini menjadi tempat interaksi bagi 3-4 generasi lampau.

Mak Eha

Salah satu kenangan yang paling populer di Pasar Cihapit adalah Warung Nasi Mak Eha.

Selepas melewati lorong, pengunjung akan melihat deretan kios dan jongko yang menjajakan sayuran, daging, dan buah-buahan.

Di ujung deretan itu pulalah Warung Nasi Mak Eha berada. Warung yang sudah ada sejak zaman kemerdekaan ini suasananya nyaris tak berubah.

Di salah satu dinding terlihat foto Presiden Soekarno dan sejumlah pahlawan nasional. Di dinding lainnya terdapat berbagai perabotan zaman dulu.

Melihat ke bagian tengah, terlihat deretan makanan di atas meja. Ada jengkol, tempe, ikan, daging ayam, gepuk, dan lainnya yang tersaji di sana.

Bedanya, kini Mak Eha yang sudah menginjak usia 89 tahun, hanya duduk di bagian kasir. Ia bisa menghitung dengan cepat, berapa makanan yang harus dibayar.

Di bagian luar yang berada di lorong terlihat kursi panjang berhadapan dan meja berjejer. Kursi-kursi ini selalu tak bisa menampung para pembeli.

“Dulu, Bu Hartini (istri Soekarno) suka belanja ke sini. Anak-anaknya Soekarno kaya Guntur dan Guruh sampai sekarang kadang ke sini,” ungkap Mak Eha kepada Kompas.com.

Mereka datang ke sini untuk bernostalgia. Katanya, kangen masakan Mak Eha yang selalu menjadi andalan sejak masa kuliah.

Surga kuliner

Selain Mak Eha, Pasar Cihapit terkenal dengan berbagai makanan legendaris yang tak kalah lezat. Bagi pecinta kuliner, Pasar Cihapit adalah surga.

Ada beberapa makanan yang ternama di sana seperti surabi, lotek, batagor, cuanki serayu, dan lainnya.

Karena itu, datang ke Pasar Cihapit saat perut kosong adalah pilihan yang tak salah.

Setidaknya itulah yang pernah diakui oleh almarhum Bondan Winarno -seorang pecinta kuliner Tanah Air. Selain Warung Mak Eha, Bondan pernah mengaku kesengsem dengan berbagai makanan di pasar ini.

Tak hanya itu, yang terkenal dari Cihapit adalah toko buku dan barang-barang bekas. Itulah mengapa banyak kolektor yang sengaja datang ke sini untuk berburu.

Tongkrongan "kekinian"

Uniknya, di antara deretan kios dan jongko tersebut terdapat kedai kopi dan teh yang 'kekinian'. Terutama dari sisi desain interior dan kelengkapan kedai-nya.

Tak heran jika banyak anak muda yang nongkrong di sana. Ada yang mengobrol, sekadar ngopi, atau mengerjakan tugas, dan berselancar di dunia maya lewat laptop mereka.

“Tempatnya cozy, nyaman, cocok untuk nongkrong dan bekerja,” ujar salah satu pengunjung, Saleh (28) kepada Kompas.com.

Kondisi ini memperlihatkan interaksi yang unik di Pasar Cihapit. Anak muda yang biasanya ogah-ogahan ke pasar tradisional, di sini mengobrol dengan para pedagang sayur.

Ada kalanya para anak muda itu pun membeli jajanan tradisional di pasar. Begitu juga kaum ibu atau para bapak yang jarang ngopi, bisa merasakan sensasi kafe "kekinian" di pasar ini.

Kondisi Cihapit yang beragam dan menyenangkan sebenarnya sudah diciptakan sejak zaman Belanda.

Reza Ramadhan Kurniawan dari Komunitas Aleut mengatakan, Belanda membangun daerah Cihapit dengan suatu konsep lingkungan yang sehat.

Komplek perumahan dilengkapi dengan pasar, pertokoan, taman dan lapangan terbuka.

Bahkan pada 1920-an komplek perumahan Cihapit mendapatkan predikat contoh lingkungan pemukiman sehat di Kota Bandung.

Daerah tersebut dulu dihuni warga golongan menengah baik pribumi maupun Belanda. Beberapa sisa bangunan lama masih dapat disaksikan di Jalan Sabang.

Kamp tawanan

Namun pada masa kedudukan Jepang, Cihapit memasuki masa kelamnya. Menurut beberapa literasi, dulu kawasan Cihapit dijadikan Kamp Interniran atau tawanan atau kampung penjara.

Batasnya adalah pagar anyaman bambu dan kawat berduri dengan beberapa penjaga.

Penjagaan tidak hanya dilakukan tentara Jepang, tetapi oleh tentara Indonesia yang saat itu tergabung dalam Heiho.

Reza mengatakan, saat dibuka 17 November 1942, penghuni Kamp Interniran Cihapit sekitar 14.000.

Dengan jumlah sebanyak itu, mereka tinggal berhimpitan. Ada kalanya satu rumah kecil, dihuni 20 orang.

Kamp tawanan pada masa penjajahan Jepang dipisahkan ke dalam tiga kelompok, untuk anak-anak dan wanita, pria remaja, dan pria dewasa.

Para tahanan Kamp Cihapit mendapat dua kali kebaikan hati kaisar, yaitu diperbolehkan mengirimkan kartu pos kepada suami dan anak di kamp lainnya.

Surat yang dituliskan tidak lebih dari 25 kata, tidak boleh dituliskan tanggal dan ditulis dalam bahasa Indonesia.

Selain itu surat tidak boleh berisi berita mengenai nama kamp, nama penyakit, menurunnya berat badan dan berita negatif lainya.

Berita yang diperbolehkan untuk diceritakan dalam kartu pos adalah berita baik dan yang menggembirakan saja.

Namun, hal ini pun tidak mudah karena sulitnya alat tulis, pena, kartu pos dan waktu penulisan yang terbatas.

Dalam kamp tersebut tercatat 243 korban meninggal. Kamp ini ditutup Desember 1944 dengan jumlah tawanan sebanyak 10.000 jiwa.

“Mereka dipindahkan ke berbagai kamp di Jakarta, Bogor, dan Jawa Tengah,” tutup Reza.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/12/08/120000520/mampir-ke-pasar-cihapit-kamp-tawanan-jepang-yang-jadi-surga-kuliner

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke