Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Remaja Rentan Tertular HIV/AIDS, Ini yang Perlu Diketahui!

KOMPAS.com - Remaja berpotensi tinggi terhadap risiko penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS karena faktor perilaku dan perkembangan emosionalnya.

Ini menjadi hal penting bagi orangtua untuk memiliki percakapan yang lebih terbuka tentang seksualitas yang sehat dengan anak-anak mereka.

Apalagi, norma dan gaya hidup sosial telah berubah dan lebih banyak remaja terpapar materi seksual, serta akses yang lebih mudah ke pasangan seksual melalui internet.

Dalam beberapa tahun terakhir, Klinik Departemen Pengendalian Infeksi Menular Seksual (DSC) di Singapura menemukan, bahwa beberapa pasien yang terinfeksi penyakit menular seksual berusia sekitar 14 tahun.

Di Indonesia, hingga 2018, pengidap HIV pada anak dan remaja (di bawah 19 tahun) terus bertambah, mencapai 2.881 orang. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2010, yaitu sebanyak 1.622 anak terinfeksi HIV

Secara umum, cara penularan enam dari sembilan kasus pada kelompok usia 15-19 tahun adalah melalui aktivitas seksual di kalangan homoseksual atau biseksual.

Juru bicara Singapore Children’s Society mengatakan, secara umum, sikap kaum muda terhadap seks menjadi lebih liberal. Karenanya, lebih banyak dari mereka yang mungkin melakukan hubungan seksual sebelum dewasa.

Sementara itu, konselor di Klinik DSC, Roslinda Mohd Noor dan Rahman Katama juga mengungkapkan, bahwa sebagian besar remaja yang mereka temui biasanya tidak menggunakan kondom karena adanya tekanan teman sebaya dan keyakinan jika penyakit itu tidak akan terjadi padanya.

Alasan lain remaja cenderung melakukan hubungan seks tanpa kondom adalah tanda cinta dan untuk meningkatkan rasa senang.

Di samping itu, bagian otak lobus frontal yang berfungsi mengontrol penalaran, pengambilan keputusan dan penilaian pada usia remaja belum sepenuhnya berkembang. Sehingga, ada kecenderungan untuk membuat keputusan yang lebih impulsif dan mengambil risiko.

Ketertarikan pada hubungan romantis dan seksual, serta emosi yang kuat mendorong keputusan mereka.

"Remaja juga biasanya lebih mementingkan kehamilan daripada penyakit menular seksual dan karena itu mereka mempraktikkan tindakan pencegahan dengan metode penarikan dan berhubungan seks selama atau segera setelah menstruasi," sambung dia.

Roslinda menambahkan, faktor-faktor tertentu yakni putus sekolah, penggunaan alkohol, keterlibatan dalam kegiatan geng, ketidakhadiran sosok orangtua, program televisi yang menggambarkan seks remaja sebagai norma dan akses ke pornografi juga dapat berkontribusi pada hubungan seksual yang tidak sehat.

Kelompok rentan

Hidup dengan penyakit menular seksual memang sulit bagi siapa pun, tetapi pasien remaja adalah kelompok yang sangat rentan.

Remaja tidak diperlengkapi secara emosional untuk menghadapi situasi tersebut. Alhasil, mereka tidak dapat memberi tahu orangtua atau guru di sekolah karena ketakutan dan stigma masyarakat.

Kemungkinan besar itu juga yang memengaruhi remaja dengan penyakit menular seksual menunda dalam mencari perawatan.

Konselor dan pekerja sosial dari Singapore Children's Society mengatakan, bahwa orang tua dari tiga remaja yang dites positif mengidap penyakit menular seksual merasa terkejut dan marah.

Mereka tidak tahu bagaimana harus bereaksi atau menanggapi anak-anak mereka dan segera mencari bantuan. 

Meski begitu, beberapa orangtua tidak terkejut dan bahkan membawa anak-anak mereka ke klinik untuk tes atas kemauan mereka sendiri. Hubungan yang baik antara orangtua dan itu penting di saat yang sulit.

"Terlepas dari kondisi medisnya, mengidap penyakit kronis seperti infeksi HIV dapat berdampak besar pada kesejahteraan emosional dan mental seseorang," kata Rosalinda.

"Walaupun orangtua menyatakan kekecewaan, mereka tetap dari berfokus pada kesehatan dan ingin menghabiskan lebih banyak waktu berkualitas dengan anak remajanya," imbuh dia.

Yang dapat dilakukan orangtua

Singapore Children’s Society mengatakan, bahwa persepsi pasien muda tentang reaksi orangtua mereka terhadap diagnosis penyakit menular seksual akan menentukan apakah mereka akan jujur.

"Jika ada dasar komunikasi terbuka pada tahap awal, mereka akan lebih mungkin untuk berbagi berita dengan orang tua mereka," terang juru bicaranya.

Ketika orangtua mengetahui diagnosisnya, mereka harus mengelola kekecewaan dan keterkejutan mereka sendiri. Kemudian memberikan dukungan yang paling dibutuhkan oleh anak-anak mereka.

Orangtua memainkan peran penting dalam mendidik remaja tentang kesehatan seksual. Ini mungkin bukan topik yang nyaman untuk dibahas, tetapi perlu.

Para konselor juga setuju apabila di masa remaja anak-anak mengalami dorongan seksual yang besar itu adalah sebuah kewajaran.

Namun, fondasi yang kuat dalam seksualitas yang sehat harus dibangun di atas percakapan terbuka sejak usia muda sebagai langkah pencegahan.

Melakukan percakapan terbuka tentang seksualitas sejak dini ketika anak-anak masih kecil juga membantu membentuk sikap mereka terhadap seks dan tidak membiarkan sikap mereka dipengaruhi oleh teman sebaya atau media.

Selain penggunaan kondom yang benar dan menjaga hubungan seksual monogami untuk mencegah penyakit menular seksual, Izharuddin sangat mendorong vaksinasi terhadap HPV dan Hepatitis B.

Izharuddin mengatakan, bagi para remaja yang menduga diri mereka mungkin telah terpapar penyakit menular seksual harus segera mencari pertolongan medis.

Berbagai jenis penyakit menular seksual dapat disembuhkan dan semakin dini diagnosisnya maka akan semakin tinggi kemungkinan kesembuhannya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/12/01/142349220/remaja-rentan-tertular-hiv-aids-ini-yang-perlu-diketahui

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke