DALAM beberapa hari ini, media sosial ramai oleh kisah asmara dua anak muda yang kandas di tengah jalan.
Hubungan itu dikabarkan tengah tidak harmonis karena salah satu di antaranya meninggalkan pasangannya tanpa status yang jelas.
Bak drama sinetron, publik seakan dibawa dalam pusaran hubungan sepasang anak muda ini. Kubu netizen yang mahabenar dengan segala kenyinyirannya, juga terbelah dua untuk menambah besar hiruk-pikuk ini. Beragam tudingan pun muncul tentang penyebab putus cinta ini, entah benar, entah keliru.
Ghosting dan komunikasi di era digital
Saya tidak hendak membahas peristiwa itu, tetapi membahas adanya istilah unik yang tampaknya berseliweran di lini massa. Itu adalah kata ghosting.
Fenomena ghosting ini merupakan istilah etimologis linguistik yang mulai dipublikasikan oleh Urban Dictionary sejak tahun 2006. Penelitian terkait hal ini pun masih terbilang sedikit.
Penelitian yang mungkin bisa menjadi rujukan untuk mengolah ulah aneh-aneh anak zaman now ini adalah oleh Leah E Levebre bersama kawan-kawannya pada 2019. Mereka merupakan kumpulan dosen ilmu komunikasi di Universitas Alabama, Tuscaloosa, Amerika Serikat.
Ghosting sendiri masuk dalam kategori teknik penghindaran atau yang disebut sebagai avoidance.
Kategori teknik penghindaran dalam ghosting ini sendiri sebenarnya sudah lama dikenal dalam dunia persilatan ilmu komunikasi.
Teknik avoidance, adalah cara untuk untuk memutuskan hubungan, interaksi dan komunikasi dengan menghindari orang yang dituju.
Teknik penghindaran ini juga sering dipakai dalam apologetik retorik untuk melarikan diri dari tanggung jawab untuk meminta maaf. Misalnya, pejabat yang mengelak untuk mengakui korupsi yang dituduhkan padanya. Pejabat yang korupsi juga akan cenderung menghindar, memutus wawancara kepada wartawan, dan cepat pergi dari lokasi.
Yang membedakan adalah istilah ghosting ini dipakai pada penggunaan media komunikasi dan teknologi untuk memediasi hubungan interpersonal yang terjadi.
Media ICT inilah yang memberi nuansa dan sentuhan baru pada ghosting dibanding "kakak sepupunya", yakni avoidance tadi. Hingga, ghosting dianugerahi sebutan sebagai teknik kontemporer memutus hubungan di era digital.
Ghosting juga sering terjadi pada periode masa transisi dewasa yakni usia 18-29 tahun. Usia ini memiliki penggunaan teknologi yang tinggi baik komputer maupun ponsel. Maka, media ini pula yang digunakan untuk memulai maupun melakukan terminasi hubungan pada zaman now.
Ciri-ciri perilaku ghosting adalah memutuskan hubungan dengan seseorang dalam sebuah relasi melalui cara menghilang tanpa kabar, tanpa pemberitahuan, dan bahkan tanpa memberi pilihan.
Pelaku ghosting
Pertanyaannya, kenapa seseorang melakukan ghosting? Penelitian Levebre dan kawan-kawan ini menunjukkan ada lima alasan penting seseorang melakukan aksi ini.
Menyikapi ghosting
Fenomena ghosting paling berdampak pada "korban" dari pelaku ghosting dan keluarganya. Apalagi dalam kultur Asia, keluarga memiliki andil yang besar dalam sebuah perhelatan akbar dua insan yakni pacaran, tunangan, hingga pernikahan.
Peristiwa ghosting ini bisa memberikan sebuah konsekuensi perasaan longing atau pengharapan yang tidak jelas. Korban juga bisa bingung, kangen, tetapi sekaligus kecewa, marah, dan kesal.
Selain itu, timbul juga dampak ketidakberdayaan dari korban karena merasa diperlakukan tidak adil dan penuh ambiguitas.
Akan tetapi, ghosting harus disikapi dengan tepat. Banyak "korban" yang menyalahkan diri sendiri. Misalnya, ketika mencari jawaban tentang mengapa ini terjadi? Apa yang salah dari dirinya sehingga pelaku ini tidak menghubungi?
Information seeking atau pencarian informasi di tengah situasi ambigu ini yang kadang membawa korban merasa bersalah karena tidak menemukan jawaban.
Cara yang sejauh ini dinilai tepat adalah dengan menyikapi ketidakpastian itu dengan membangun benteng pertahanan diri dan beradaptasi dengan mencari stabilitas dari gangguan ketidakpastian.
Ketangguhan seseorang dalam situasi ketidakpastian adalah mencari stabilitas dan kepastian orang-orang yang jelas dan sungguh-sungguh mencintai mereka. Misalnya, melalui dukungan dari keluarga dan teman terdekat. Menggegam kepastian itu dan membuang perasaan yang tidak pasti mengganggu itu.
Sepenggal lagu Ariel "Noah" ini mungkin bisa menjadi mantra bagi korban ghosting yang menjadi fenomena hubungan anak zaman now.
Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu
Desideria Cempaka Wijaya Murti, SSos, MA, PhD
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
https://lifestyle.kompas.com/read/2021/03/09/115559420/ghosting-fenomena-putus-hubungan-anak-zaman-now