Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Konten Media Sosial Penuh Sensasi, Miskin Esensi?

Ketika saya diminta membuat pesan edukasi singkat yang berdurasi satu menit, rasanya jauh lebih frustrasi ketimbang membuat artikel penuh seperti ini.

Ketika saya tanya: Kenapa sih harus satu menit? Kenapa harus video? Dijawab: karena generasi baru ini tidak suka bertele-tele, mau yang simple, praktis, mudah, dan mudah dipahami. Dengggggg! Meteor raksasa baru saja jatuh ke atas bumi.

Fenomena yang sama terjadi di salah satu komentar dalam akun Instagram saya, yang menanyakan tutorial video cara membuat santan. Cara memanaskan makanan pendamping asi. Cara membuat bubur cincang. Cara menakar porsi bahan makanan.

Padahal setiap gambar (posting-an) di Instagram, sudah disertai kata-kata sederhana dalam kalimat pendek. Masih tidak bisa dipahami.

Jujur saya agak khawatir dengan kemampuan abstraksi generasi masa kini. Apakah itu sebabnya, mereka menjadi penikmat video, YouTube ketimbang pembaca buku? Akankah kita menuju masa di mana buku (termasuk e-book) semakin langka?

Lebih ngeri lagi, atas nama kepraktisan dan simplifikasi, setiap masalah yang ada selalu ditanyakan: dok, lalu solusinya apa? Hal yang sama ditanyakan saat diagnosa penyakit muncul hingga konfirmasi anak sudah stunting.

Padahal sebelum penyakit mendera, kita diberi puluhan tahun untuk hidup baik dan ‘makan bener’ – bahkan diberi sinyal jika tubuh sering disiksa demi kenikmatan lidah: mulai dari gampang ngantuk, susah fokus, hingga kegemukan yang membuat pinggang sesak.

Pun sebelum anak disebut stunting, bulan demi bulan kenaikan berat badan tidak optimal, sering sakit dan malas makan.

Tapi bukannya dievaluasi penyebabnya, malah sang ibu hidup dalam penyangkalan (masih saja disebut anak sakit itu biasa) dan berburu resep masakan, yang katanya bisa mengejar berat badan anak. Tentunya dari medsos. Karena itu satu-satunya lingkaran informasi yang masih bisa ‘nyangkut’ di pemahaman mereka.

Tidak banyak para petinggi pembuat kebijakan yang tahu bagaimana ‘sepak terjang’ para ibu muda di pertengahan usia 20-an memberi makan anaknya yang lebih banyak mingkem dan rewel ketimbang mangap di setiap suap seperti teori.

Saat ada satu konten tiktok yang viral dan bombastis muncul sebagai ‘resep idaman’ pendongkrak berat badan anak, maka konten itu akan berputar di semua komunitas ibu muda dengan prinsip “ATM”: amati, tiru, modifikasi.

Artinya, mereka akan meniru apa yang ditonton dan memodifikasi dengan pemahaman masing-masing.

Karakter usia muda yang cenderung kreatif dan inovatif, jika tidak mempunyai dasar keilmuan yang benar, bisa menjadi pisau bermata dua.

Tidak usah dipungkiri lagi, generasi alfa dan milenial hampir-hampir tidak lagi mengenal pangan asli nusantara – apalagi cara membuatnya.

Pun kalau ada resep berseliweran di media sosial, saya berani jamin itu resep ‘hibrid’ – alias campur aduk.

Sebab, resep asli Indonesia tidak mengenal gula rafinasi apalagi bubuk kaldu jamur sebagai penyangkalan terhadap MSG alias ‘micin’.

Begitu pula mereka pikir cita rasa bule membuat ‘makanan lebih sehat’ dan anak-anaknya tumbuh gembulita, mirip anak bule dan blasteran yang fotonya jadi iklan makanan bayi.

Alhasil, kudapan bayi masa kini sarat dengan parutan keju (yang banyak kastanya – produk prosesan – tinggi garam), aneka kasta susu (yang akhirnya bikin mencret karena intoleransi laktosa), dan tak kalah hebohnya pemakaian gula.

Bahkan, ada yang mengajarkan penggunaan susu penderita diabetes untuk menjadi bahan racikan salah satu kudapan bayi.

Mengelus dada saja rasanya masih tidak cukup. Barangkali istilah anak zaman sekarang: garuk-garuk aspal lebih tepat untuk rasa frustrasi yang tak terkatakan ini.

Anak tidak mau makan bukan karena makanan ibunya tidak enak. Begitu pula anak tidak mau menyusu, bukan karena rasa ASI-nya basi.

Simplifikasi penolakan proses makan anak yang diolah oleh ‘otak dewasa yang amat cetek’ akhirnya semua dilabel. Akibat rasa yang tidak enak. Betapa mengerikannya.

Sehingga, semakin banyak ibu generasi masa kini tersandung rasa rendah diri – menukar ASI nya dengan formula, menyerahkan keterampilan mengolah makanan bayi ke produk kemasan.

Yang diamini beberapa nakes dan ‘pakar’ dengan dalih sudah terukur, terjamin kebersihannya, dan kepercayaan diri diserahkan kepada industri.

Padahal, kebanyakan bayi-bayi diare bukan karena ibunya jorok membuat bubur. tapi seringnya memasukkan jari ke mulut karena mereka sedang fase oral.

Betapa sulitnya membuat materi komunikasi yang membumi sekaligus sarat esensi. Yang tidak selalu harus menjadi solusi, tapi membuat orang mau mengevaluasi.

Sehingga saat saya ditanya, bagimana solusi bayi yang tidak mau makan? Para ibu ini tidak mendapatkan resep mujarab, tapi justru belajar menelusuri. Bahwa tidak mau makan mungkin karena fisik anak bermasalah atau karena perilaku memberi makan yang ngawur.

Sebab, anemia dan TBC adalah contoh kontributor nafsu makan buruk. Sementara anak yang tidak sakit tapi mendapat jajanan manis dari neneknya yang sedang girang punya cucu, akan berimbas anak menolak makanan di jam seharusnya ia makan.

Bisa dibayangkan, jika kedua kemungkinan di atas tidak dipahami dan dievaluasi, tapi ibu sang bayi sibuk mencari resep mujarab peningkat berat badan?

Belum lagi iklan berseliweran di saat para ibu ini memilah-milah konten. Mulai dari aneka vitamin bayi hingga tawaran ‘catering bubur organik’ dengan aneka rasa dan ‘topping’.

Padahal makanan bayi sesederhana dari dapur sendiri, yang sehari-hari dikonsumsi orangtuanya. Menjadi masalah jika orangtuanya pun penikmat makanan jadi.

Di pojok dapur cukup ada alat masak sejuta umat, “magicom”. Semua masuk ke situ. Bukan cuma untuk menanak nasi.

Juga buat masak mi instan, menghangatkan soto dari warung sebelah, hingga menyimpan bubur bayinya agar tetap hangat.

Mengunggah kehebatan perkakas satu itu dianggap hal kreatif dan lucu. Menjadi konten laris untuk ditiru.

Kemiskinan finansial bukan satu-satunya yang membuat masa depan berantakan. Di negri yang kaya melimpah sumber pangan dan rempah, kemiskinan literasi menjadi masalah yang tak boleh tertunda pengentasannya.

Atau kita akan menuju penjajahan baru, saat kita tidak bangga apa yang negri ini miliki, tapi selalu terjebak lingkaran setan mencari solusi.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/09/24/073000720/konten-media-sosial-penuh-sensasi-miskin-esensi-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke