Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bersyukur Mencegah Depresi

DALAM era modern yang penuh dengan tekanan dan tuntutan hidup yang tinggi, fenomena kurang bersyukur semakin umum terjadi.

Banyak orang merasa tidak puas dengan apa yang mereka miliki dan terus-menerus mencari lebih banyak hal.

Akibatnya, kurangnya rasa syukur dan apresiasi terhadap apa yang telah dimiliki seringkali berujung pada gejala gangguan mental, khususnya depresi (Primala, 2019).

Depresi adalah gangguan mental yang umum terjadi dan dapat berpengaruh terhadap perasaan, cara berpikir, dan tindakan individu (American Psychiatric Association, 2020).

Adapun kriteria dari individu depresi adalah (a) suasana hati sedih, hampa, putus asa; (b) hilangnya minat pada aktivitas sehari-hari; (c) perubahan berat badan atau nafsu makan; (d) insomnia atau hipersomnia; (e) agitasi atau retardasi gerakan motorik; (f) merasa lelah; (g) merasa tidak bermakna atau bersalah; (h) sulit untuk konsentrasi atau mengambil keputusan; dan (i) memiliki pemikiran bunuh diri.

Gejala-gejala ini harus tampak dalam durasi, frekuensi, dan intensitas tertentu agar seseorang dapat dikatakan depresi (American Psychiatric Association, 2013).

Menurut World Health Organization (2017), secara global depresi merupakan gangguan mental dengan prevalensi paling tinggi, yaitu sebesar 4,4 persen.

Di Indonesia, depresi menempati gangguan mental tingkat pertama sejak tahun 1990-2017, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME; Kementerian Kesehatan RI, 2019b).

Hasil penelitian Peltzer dan Pengpid (2018) menjelaskan bahwa depresi banyak dialami individu yang berada pada rentang usia remaja hingga dewasa muda.

Depresi cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan bahwa prevalensi depresi pada rentang usia 15-24 tahun adalah 6,2 persen, lalu menurun pada usia 25-34 tahun (5,4 persen), usia 35-44 tahun (5,6 persen), dan usia 45-54 tahun (6,1 persen).

Lebih lanjut depresi akan mengalami peningkatan pada individu yang berusia 55-64 tahun (6,5 persen; Kementerian Kesehatan RI, 2019a).

Prevalensi depresi yang tinggi menunjukkan perlunya penanganan yang lebih baik terhadap kondisi ini.

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa individu depresi secara dominan memiliki pikiran negatif yang hadir secara terus menerus (Blanco & Joormann, 2017).

Alsaleh et al. (2016) juga menemukan bahwa hadirnya pikiran-pikiran negatif dapat memprediksi munculnya depresi pada individu.

Beck (1997, dalam Bennett, 2011) menyebutkan pula bahwa pikiran dan suasana hati saling berhubungan: pikiran negatif menurunkan suasana hati, dan suasana hati yang rendah mendorong munculnya pikiran negatif.

Penelitian telah menunjukkan adanya hubungan antara depresi dan rasa kurang bersyukur. Saat seseorang memiliki pola pikir kurang bersyukur, mereka cenderung memperkuat pola pikir negatif, mengabaikan hal-hal positif dalam hidup, dan fokus pada kekurangan.

Individu yang kurang bersyukur cenderung memiliki pikiran-pikiran negatif seperti kekecewaan, penyesalan, dan frustasi (Emmons, 2017).

Studi yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003) menemukan bahwa menghitung berkat dan beban dalam kehidupan sehari-hari dapat memiliki dampak signifikan pada kebahagiaan subjektif.

Individu yang kurang bersyukur memusatkan perhatian pada hal-hal yang tidak dimiliki dirinya (Schwarz, 1999 dalam Emmons, 2017).

Kurangnya rasa syukur bisa memicu munculnya pikiran negatif dan menurunkan suasana hati individu secara terus menerus hingga dapat berujung pada depresi.

Gangguan depresi yang tidak ditangani dapat mengarah pada pemikiran bunuh diri, bahkan kematian.

Rasa syukur didefinisikan sebagai rasa senang dan terima kasih ketika mendapatkan segala hal yang baik, mulai dari barang yang bermanfaat maupun keindahan yang ditampilkan oleh alam (Peterson & Seligman, 2004).

Wood et al. (2004) menyebutkan bahwa rasa syukur adalah kemampuan yang ada pada diri seseorang yang membuatnya secara konsisten dapat menghargai sisi baik kehidupan.

Rasa syukur membantu kita melihat sisi positif dalam hidup, mengalihkan perhatian dari hal-hal negatif, dan menghargai apa yang kita miliki saat ini.

Saat kita berlatih bersyukur, kita mulai melihat dan menghargai keindahan dan berkat yang mungkin sebelumnya terlewatkan.

Studi oleh Wood, Froh, dan Geraghty (2010) menunjukkan bahwa rasa syukur berhubungan erat dengan kesejahteraan subjektif dan kualitas hidup yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, mengembangkan sikap syukur dapat menjadi kunci mengatasi depresi dan meningkatkan kesejahteraan mental secara keseluruhan.

Beberapa cara dapat dilakukan individu untuk meningkatkan rasa bersyukur untuk meminimalkan gejala depresi.

Salah satu cara sederhana adalah dengan melakukan three good things, yaitu menuliskan tiga hal baik yang disyukuri dan alasan di balik hal baik tersebut yang dapat terjadi setiap harinya.

Dengan membuat daftar hal-hal yang disyukuri setiap hari, dan menuliskannya secara eksplisit, maka individu dapat mengingat dan mengapresiasi berbagai hal kecil yang seringkali terlupakan.

Menurut Fleming (2006), melakukan kegiatan three good things dapat meningkatkan rasa bahagia dan sikap optimistis pada diri seseorang.

Kemudian mempraktikkan kesadaran diri (mindfulness) terhadap momen-momen kecil dalam hidup sehari-hari.

Mengamati dengan seksama keindahan alam, menyadari rasa nikmat saat makanan yang lezat, atau menghargai momen kebersamaan dengan orang-orang terkasih.

Dengan melatih diri untuk lebih menghadirkan diri dalam momen sekarang, individu dapat meningkatkan kesadaran akan kebaikan-kebaikan yang ada di sekitarnya.

Cara lainnya adalah dengan berbagi kebaikan dengan orang lain. Aktivitas berbagi juga dapat membantu individu mengembangkan rasa syukur.

Selain itu, mengubah pola pikir negatif menjadi positif juga penting dalam mengembangkan sikap syukur.

Ketika individu menghadapi tantangan atau kegagalan, cobalah untuk mencari pelajaran atau aspek positif yang dapat diambil dari pengalaman tersebut.

Melihat setiap kesulitan sebagai kesempatan untuk tumbuh dan belajar dapat membantu kita mengalihkan fokus dari hal-hal yang tidak berjalan dengan baik.

Mendapatkan perspektif yang lebih luas tentang hidup juga dapat membantu individu mengembangkan sikap syukur.

Mengingat bahwa takdir terkadang berada di luar kendali kita dan mengakui bahwa ada banyak hal yang dapat kita syukuri dalam hidup ini, seperti kesehatan, hubungan sosial, atau kesempatan untuk berkembang, dapat membantu kita menghargai apa yang kita miliki.

Dalam hal ini, individu dapat melakukan death reflection, yaitu membayangkan kematian.

Dalam penelitian, ditemukan bahwa orang-orang yang diminta untuk membayangkan kematian lebih merasa bersyukur dibandingkan orang-orang yang diminta untuk membayangkan keseharian pada umumnya (Frias et al., 2011).

Selanjutnya, individu juga dapat melakukan experiential consumption. Hal ini merupakan kegiatan mengeluarkan uang untuk mendapatkan pengalaman dibandingkan membeli barang.

Dengan melakukan kegiatan ini, maka individu dapat menunjukkan rasa syukur yang lebih intens.

Berdasarkan penelitian, seseorang akan lebih merasa bersyukur ketika mendapatkan pengalaman berharga seperti pergi ke konser atau makan di luar rumah dibandingkan dengan ketika membeli baju atau perhiasan (Walker et al., 2016).

Terakhir, individu dapat melakukan mental subtraction, yaitu membayangkan apa yang akan terjadi pada hidup mereka ketika hal baik yang pernah mereka alami tidak benar-benar pernah terjadi.

Dalam hal ini, seseorang akan merasa bersyukur akan kebaikan yang pernah diperoleh tersebut (Koo et al., 2008).

Dapat disimpulkan bahwa dalam menjalani hidup ini, penting bagi setiap individu untuk memperhatikan dan menghargai keberkahan-keberkahan kecil yang ada dalam hidup kita.

Kurang bersyukur berujung pada depresi karena mengarahkan perhatian kita pada kekurangan, sementara mengembangkan sikap syukur membantu kita melihat dan mengapresiasi apa yang kita miliki.

Dengan melatih diri kita untuk lebih bersyukur, kita dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mental secara keseluruhan.

*Irena Monica Hardjasasmita, Mahasiswa Magister Psikologi UNTAR
Roswiyani Ph.D, Psikolog dan Dr. Heryanti Satyadi, M.Si., Psikolog, Dosen Psikologi UNTAR

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/07/24/165531520/bersyukur-mencegah-depresi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke