Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

7 Tanda Saatnya Putuskan Hubungan dengan Keluarga Toxic

Ada keluarga yang penuh kasih sayang dan suportif sehingga mampu menghadirkan dampak positif dalam hidup kita.

Namun ada juga anggota keluarga yang menyusahkan sehingga setiap interaksi dengan mereka terasa sangat sulit.

Kadang kita mungkin berpikir ingin putus hubungan dengan keluarga toxic itu demi kebaikan hidup.

Tapi, apakah langkah itu berlebihan?

Dr. Lindsay C. Gibson, psikolog klinis keluarga mengatakan, putus hubungan dengan anggota keluarga toxic sebenarnya bukan hal tabu.

Pakar yang kerap menangani kasus orangtua yang belum dewasa secara emosional itu menambahkan, ada tanda bahwa mungkin sudah waktunya untuk memutuskan kontak dengan orangtua atau anggota keluarga.

Berikut uraiannya, dikutip dari Insider.

Kita menyadari perlakuan yang tidak benar

Orang yang tumbuh dalam keluarga toxic sering kali tidak menyadari disfungsi hubungan tersebut.

Mereka baru menyadarinya saat menjalani terapi psikologis atau mulai memiliki individualitasnya.

“Terkadang, pertumbuhan internal kita membuat kita tidak bisa lagi menoleransi hal-hal yang sebelumnya tidak kita sadari,” kata Gibson.

Merasa sudah mencoba cara lainnya

Banyak orang menjaga jarak dengan keluarga toxic sebagai jalan tengah.

Misalnya dengan jarang menelepon orangtuanya atau menolak ikut liburan keluarga besar.

Namun jika batasan itu tidak lagi dipatuhi atau cara kita tak lagi dihargai maka putus hubungan biasanya jadi opsi.

"Tidak ada seorang pun yang sampai pada titik keterasingan karena kemauannya sendiri," kata Gibson.

Misalnya, kita merasa berhutang budi karena orangtua telah membiayai pendidikan meskipun hubungan yang terjalin sebenarnya tidak sehat.

"Namun, Anda mungkin mempertimbangkan untuk memutuskan kontak jika pengalaman buruk yang Anda alami masih lebih besar daripada saat-saat menyenangkan," terang Gibson.

Perbedaan pandangan politik makin merusak hubungan keluarga

Isu politik terbukti bisa merusak hubungan keluarga tapi Gibson mengatakan bahwa biasanya ada lebih dari itu.

“Kita harus ingat bahwa segala sesuatu mempunyai sejarah,” ujarnya.

Konflik utamanya bukan siapa pilihan kita pada pemilu tapi lebih pada bagaimana perbedaan pendapat tersebut diatasi.

Misalnya, orangtua yang membentak atau meremehkan pandangan kita karena tidak setuju dengan mereka, hal yang mungkin terjadi dalam perdebatan lainnya.

Pelanggaran privasi yang parah

Misalnya, orangtua yang menata ulang furnitur tanpa izin rumah kita atau memberikan makanan yang terlarang untuk anak kita.

Pelanggaran ini menjadi bukti jika mereka mengabaikan keinginan kita terkait hal pribadi.

Gibson juga mengatakan bahwa adanya kekerasan fisik atau psikologis juga bisa jadi pertimbangan putus hubungan.

“Ketika ada bahaya pada kesehatan Anda, Anda mungkin terpaksa memilih antara kesehatan fisik Anda atau kontak dengan orang tersebut,” katanya.

Namun Gibson menilai, sering kali hal tersebut tidak dihargai oleh orangtua atau keluarga toxic.

“Masalahnya adalah bagi orang-orang yang belum dewasa secara emosional, mereka cenderung berpikir semua atau tidak sama sekali,” katanya.

Butuh rehat, untuk saat ini

Putus hubungan keluarga tidak harus menjadi hal yang permanen.

Gibson mengatakan, terkadang itu dibutuhkan agar orang bisa istirahat dari hubungan keluarga yang tidak sehat itu.

Apalagi jika kita masih menghadapi berbagai masalah lain dalam hidup termasuk pekerjaan atau kesehatan.

"Kuncinya adalah Anda mulai menetapkan norma dalam hubungan bahwa 'Saya memutuskan berapa banyak kontak yang ingin saya miliki atau seberapa banyak kontak yang baik untuk saya,'" katanya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/10/25/114032320/7-tanda-saatnya-putuskan-hubungan-dengan-keluarga-toxic

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke