Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Refleksi Diri Awal 2024: "Self-Transcendence"

BUNDA Teresa merupakan sosok orang yang lebih mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingannya sendiri.

Ia mendirikan "The Missionaries of Charity's" di Calcutta India pada 1950. Ia lebih memilih membantu kaum miskin di sana dibandingkan memikirkan kepentingan dirinya sendiri.

Hal ini membuktikan dalam perjalanan pencarian makna hidup, manusia seringkali menemui tahapan di mana mereka tidak hanya memikirkan pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional semata, melainkan sampai pada pemikiran spiritual dan self-transcendence.

Pada tingkat ini, individu (dalam hal ini Bunda Teresa) tidak sekadar mencari pemahaman terhadap dirinya sendiri, tetapi juga merambah ke dimensi yang lebih tinggi lagi.

Konsep self-transcendence merupakan salah satu bagian dari proses psikologis yang mendorong seseorang mencapai makna hidup yang lebih tinggi.

Apa itu self-transcendence?

Dalam psikologi, Abraham Maslow merinci lima tingkat hirarki kebutuhan manusia, yaitu physiological needs, safety needs, belongingness and love needs, esteem needs, dan the need for self-actualization (Cloninger, 2004).

Meskipun awalnya tidak termasuk dalam hirarki tersebut, pada 1971, Maslow memperkenalkan konsep self-transcendence sebagai kemampuan individu untuk melebihi kebutuhan pribadi demi sesuatu lebih besar.

Self-transcendence melibatkan kesadaran sepenuhnya, hubungan sosial, serta keterhubungan dengan alam dan kosmos.

Pada tingkat tertinggi kebutuhan tersebut, self-transcendence menjadi sangat penting karena dapat membimbing individu melihat dunia dan tujuan hidupnya secara menyeluruh.

Hal ini menegaskan pemahaman makna hidup terletak pada pengalaman tingkat tinggi dan kesadaran akan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Konsep self-transcendence juga mencakup pengalaman puncak, di mana individu merasakan kegembiraan, kebahagiaan, dan kesadaran akan kebenaran prima dan kesatuan seluruh realitas.

Dalam kondisi mistis dan estetik ini, mereka mengalami hubungan mendalam dengan sesuatu yang lebih besar, melampaui ego dan kebutuhan pribadi.

Meskipun tidak selalu bersifat sementara, beberapa individu dapat mengakses pengalaman puncak secara berkelanjutan, dikenal sebagai "plateau experience."

Dalam perjalanan pencapaian kesadaran tinggi, konsep plateau experience menarik perhatian sebagai momen puncak yang dapat memberikan pengalaman kesadaran yang tinggi secara berkelanjutan.

Sebagai contoh konkret, praktik meditasi menjadi medan di mana individu secara konsisten berusaha mencapai tingkat kesadaran lebih tinggi.

Dengan ketekunan dalam meditasi, individu dapat mengalami plateau experience, di mana keadaan kesadaran yang tinggi tidak hanya menjadi kilasan sesaat, melainkan terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari mereka (Nhat Hanh, 1999).

Dalam bukunya yang berjudul "The Miracle of Mindfulness," Thich Nhat Hanh, seorang biksu Buddhis terkemuka, menyoroti bahwa melalui praktik mindfulness yang berkelanjutan, seseorang dapat mencapai tingkat kesadaran tinggi dan mempertahankannya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Plateau experience tidak hanya mencerminkan pencapaian tingkat kesadaran yang tinggi, tetapi juga menjadi fondasi bagi self-transcendence.

Dalam konteks ini, self-transcendence mengacu pada kemampuan individu untuk melampaui batasan ego dan kebutuhan pribadi mereka.

Melalui plateau experience, individu dapat merasakan keterhubungan yang mendalam dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Proses ini menciptakan landasan yang kokoh untuk pertumbuhan spiritual dan pemahaman diri yang mendalam.

Bagaimana karakteristik individu yang mencapai self-transcendence?

Individu yang mencapai self-transcendence menunjukkan adanya kesadaran diri ‘menghilang’, seperti dalam meditasi, karena fokus pada sesuatu di luar dirinya.

Mereka berhasil mengatasi kebutuhan fisik dan belenggu emosi, seperti rasa bersalah, malu, penyesalan, dan ketidakberdayaan.

Kemampuan mereka dalam mengatasi rasa sakit, takut akan kematian, keterbatasan, dan ketidaksempurnaan manusia membawa mereka menuju harmoni atau keselarasan dengan alam.

Karakteristik lainnya mencakup kemampuan mengatasi batasan budaya, perbedaan, jeratan peran sosial, dan propaganda.

Mereka tidak hanya berada dalam keberadaan sempurna di saat sekarang, tetapi juga mengatasi logika dan batasan fisik, serta mengalami sinergi dalam polaritas, konflik, dan pemisahan.

Mereka merasakan cinta dan kesatuan tanpa batas dengan semua manusia, menjaga welas asih dan kebebasan dari kebencian, kebodohan, ketidakpedulian, dan ketidakdewasaan.

Transender mampu mengatasi belenggu kekinian, dimensi ruang dan waktu, dan keinginan diri dengan mencintai takdirnya. Pencapaian kondisi divine, pengalaman mistik, iluminasi, dan pencerahan menjadi bagian dari perjalanan mereka.

Dalam gejolak kehidupan, mereka merasakan kedamaian dan ketenangan abadi serta tak terbatas.

Bersyukur, berbahagia, terpenuhi, dan bebas dari rasa khawatir, mereka mengalami kesadaran kosmis, serta kesatuan dan integrasi dengan keseluruhan alam semesta dan isinya.

Individu yang mencapai self-transcendence mampu menerima, mencintai, dan memaafkan semua orang, mencapai kesatuan dengan semua orang dan Tuhan, serta mencapai kondisi Tao, Buddha, atau pencerahan sejati (Maslow, 1971, h. 259-268).

Mengenal apa yang dialami para transender

Bagaimana dampak pengalaman ini terhadap kehidupan seseorang? Apakah orang yang telah mengalami self-transcendence mengalami pergeseran paradigma terhadap realitas kehidupan?

Berdasarkan tulisan Maslow (1971), berikut gambaran karakteristik individu yang mengalami self-transcendence:

  1. Signifikansi pengalaman. Bagi transender pengalaman self-transcendence menjadi sangat berarti dalam hidup mereka.
  2. Bahasa Being. Mereka secara alami berkomunikasi menggunakan Bahasa Being (B-language), yaitu bahasa penyair, mistik atau religius.
  3. Pandangan intuitif dan sakral. Transender melihat kehidupan secara intuitif dan sakral, menggabungkan kesakralan dengan perspektif praktis kehidupan sehari-hari.
  4. Orientasi nilai Being. Mereka termotivasi oleh nilai-nilai Being seperti kesempurnaan, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan kesatuan – menjadikan self-transcendence sebagai motivasi utama.
  5. Tampak saling mengenal satu sama lain, bahkan ketika pertemuan pertama langsung menjadi intim dan saling memahami.
  6. Responsif terhadap keindahan. Memiliki responsivitas tinggi terhadap keindahan, cenderung membuat segala sesuatu lebih indah, dan memiliki respons estetik yang kuat.
  7. Pandangan Holistik. Berpandangan holistik terhadap dunia, melampaui konsep-konsep seperti “kelas atau IQ seseorang” atau “agama keluarga.”
  8. Sinerji dan kolaborasi. Memiliki kecenderungan alami untuk sinergi secara intrapsikis, interpersonal, intrakultural, yang mengatasi transender dari persaingan dan pertandingan kalah-menang.
  9. Mengatasi ego dan identitas. Kemampuan untuk mengatasi ego, batasan diri dan identitas.
  10. Inspiratif dan ekstatis. Mereka tidak hanya loveable, namun juga inspiratif, lebih “tidak mendunia.”
  11. Inovatif dan pembaharu. Cenderung menjadi inovator daripada self-actualizers. Pengalaman self-transcendence dan pencerahannya memberikan visi yang jelas tentang yang seharusnya, seperti apa yang sebenarnya dapat terjadi dan apa yang bisa diwujudkan.
  12. Kesadaran terhadap kehancuran manusia, seolah tampak kurang “bahagia.” Namun, mereka dapat lebih suka cita dan mengalami puncak kebahagiaan dibandingkan orang lain. Mereka tampak lebih rentan terhadap kesedihan kosmis saat menyaksikan kebodohan dan kekejaman manusia, serta ketidakmampuan mereka untuk melihat keindahan dunia. Hal ini mungkin merupakan harga yang harus mereka bayar untuk kemampuan mereka melihat dunia dengan kejernihan.
  13. Kesakralan setiap orang dan hal. Mampu mensakralkan dan merasakan kesakralan setiap orang, makhluk hidup, bahkan benda mati dalam dunia realitas.
  14. Korelasi positif pengetahuan dan misteri, peningkatan pengetahuan dengan meningkatnya pengalaman misteri dan kekaguman. Bagi mereka, misteri adalah sesuatu yang menarik dan pada puncak perkembangan manusia, pengetahuan berkorelasi positif dengan perasaan misteri, kekaguman, kerendahan hati, ketidaktahuan, dan devosi.
  15. Tidak takut pada tindakan yang “tampak bodoh,” menjadi penyeleksi yang baik terhadap orang-orang kreatif.
  16. Berdamai dengan kejahatan, memahami keharusan atau ketak-terhindaran kejahatan dalam perspektif holistik yang lebih luas.
  17. Religius dan spiritual, dalam pengertian theistic atau nontheistic dasarnya adalah religius dan spiritual.
  18. Pengalaman esensial yang lebih banyak. Memiliki kekaguman yang lebih tinggi terhadap keindahan dunia, seperti melihat tarian daun saat terhembus angin atau ulat yang merayap.
  19. Cinta tanpa konflik dan total. Mencintai sepenuh hati dan menerima secara keseluruhan dalam hubungan, persahabatan, seksualitas dan kekuasaan.
  20. Menghindari kemewahan dan privilege. Lebih suka kesederhanaan daripada kemewahaman, menghindari privilege, penghargaan, dan rasa kepemilikan.

Pemaparan di atas mengindikasikan bahwa pengalaman self-transcendence memiliki dampak yang signifikan terhadap karakter seseorang.

Jika kita melihat pertumbuhan atau perkembangan seseorang sebagai suatu proses bertahap, ketika seseorang mencapai tingkat self-transcendence, ia tidak lagi terikat pada defisit kebutuhan (Biological, Safety, Attachment, Esteem).

Bahkan, kebutuhan untuk aktualisasi kemampuan kognitif dan estetik tidak lagi mendominasi, dan hidup beralih menjadi sebuah keberadaan yang lebih mendalam.

Bagaimana cara mencapai self-transcendence?

Dalam perjalanan mencapai self-transcendence, penulisan jurnal reflektif menjadi alat yang efektif.

Langkah pertama yang krusial adalah mengidentifikasi tujuan pribadi, seperti meningkatkan empati atau menemukan makna hidup.

Dengan menetapkan tujuan ini, penulisan jurnal dapat difokuskan pada aspek-aspek yang relevan untuk mencapai self-transcendence.

Selanjutnya, catatan pengalaman sehari-hari menjadi kunci, baik yang positif maupun negatif, membantu mengidentifikasi pola pikir dan emosi yang mungkin menjadi titik awal pemahaman diri yang lebih dalam.

Tinjauan objektif terhadap jurnal, tanpa menghakimi diri sendiri, menciptakan landasan untuk pertumbuhan pribadi.

Menemukan pola-pola tertentu dalam pengalaman membuka pintu ke pemahaman mendalam tentang diri sendiri dan memberikan kesempatan untuk mencari makna hidup. Tidak hanya sebatas refleksi, penulisan jurnal reflektif juga mengajak pada eksplorasi alternatif dan solusi.

Pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri merangsang pemikiran kreatif dan memperluas perspektif, mendukung proses self-transcendence.

Akhirnya, langkah terpenting adalah menerapkan pembelajaran dalam tindakan sehari-hari. Ini tidak hanya mengukur kemajuan, tetapi juga memberikan peluang bagi pertumbuhan berkelanjutan.

Dengan demikian, penulisan jurnal reflektif menjadi alat nyata dan aplikatif dalam perjalanan mencapai self-transcendence.

Kendati self-transcendence bukanlah tujuan akhir, proses ini mencirikan evolusi psikologis yang memerdekakan individu dari belenggu ego, mengarahkannya ke arah makna hidup yang lebih tinggi.

Kesadaran dan keterbukaan diri diidentifikasi sebagai pilar utama, memberikan kemampuan untuk melampaui batasan dan mencapai puncak potensi diri yang sejati.

Dengan menerapkan langkah-langkah sederhana ini, setiap individu dapat mengeksplorasi dimensi spiritualnya secara lebih mendalam, membimbingnya pada pemahaman yang lebih luas dan hubungan yang lebih bermakna dengan entitas yang melampaui dirinya sendiri.

Dengan demikian, self-transcendence bukan semata-mata pencarian eksistensial, melainkan perjalanan menuju transformasi diri yang memberikan pencerahan, pembebasan dan koneksi dengan tujuan hidup yang lebih tinggi (Cloninger, 2004).

Gaya hidup kesadaran ini, yang didasarkan pada langkah-langkah praktis seperti introspeksi diri, meditasi dan membuka pintu bagi pertumbuhan holistik, yang menghubungkan mereka dengan tujuan lebih tinggi.

Mencapai self-transcendence bukanlah hal yang terbatas, melainkan dapat diakses oleh setiap individu dengan mengadopsi langkah-langkah praktis dan hidup dalam kesadaran.

Praktik meditasi, refleksi diri, dan keterbukaan terhadap pengalaman baru menjadi fondasi dalam perjalanan ini. Tidak hanya itu, kesediaan untuk menggali nilai-nilai dan tujuan hidup pribadi juga menjadi kunci krusial dalam meraih self-transcendence.

Dengan pemahaman akan pembebasan dari ego dan dampak positif praktik kesadaran, setiap individu diundang untuk meraih pertumbuhan holistik dan mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi.

Kesimpulannya adalah pencapaian self-transendence akan terjadi apabila aktualisasi diri kita bukan menjadi tujuan utama lagi.

Artinya kita sudah bukan memikirkan lagi tujuan hidup, melainkan apa yang menjadi makna hidup kita.

Namun demikian, self-transendence juga dapat dibarengi dengan aktualisasi diri atau tujuan hidup. Misalnya, selagi mencapai tujuan hidup atau aktualisasi diri (sebagai contoh: ingin menjadi manager perusahaan), maka kita juga dapat mulai memikirkan self-transendence (sebagai contoh: aktif dalam yayasan sosial untuk membantu orang yang kesusahan, dan sebagainya, atau yang sesuai dengan makna hidup kita).

Refleksi diri mengenai apa yang sudah kita lakukan selama ini akan menjadi resolusi yang baik di tahun 2024. Selamat melakukan refleksi diri dan mencapai self-transendence!

*Gabriella Dinna Caroline, Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Riana Sahrani, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/01/09/082152420/refleksi-diri-awal-2024-self-transcendence

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke