Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengharapkan Generasi Z Melawan Pembodohan Kesehatan

Dengan kata lain, apa pun yang jadi tren, kebutuhan dan hal-hal yang muncul di pasaran ditentukan oleh mereka yang berusia 8-23 tahun pada hari ini.

Dilahirkan dan dibesarkan oleh generasi X yang berada di rentang umur 40-55 tahun, generasi Z disebut Rhenald Kasali mempunyai beberapa karakteristik unik, yang mau tak mau harus dipertimbangkan.

Amat berbeda dengan ibu bapaknya yang pekerja keras formal dan punya “disiplin kerja”, generasi Z yang tadinya dituduh sebagai anak manja konsumtif, ternyata memaknai kerja dari sudut pandang berbeda.

Mereka menganggap diri sebagai orang yang berpartisipasi dalam roda bisnis, ketimbang hanya sekedar “end-user” alias pemakai produk.

Andalkan review dan informasi viral

Dengan memberi ulasan (istilah kerennya “review”) suatu produk bisa melejit atau hancur berkeping-keping di tangan gen Z yang kritis, sekaligus bisa berlaku kejam.

Lebih percaya sesama generasinya, gen Z dengan mudahnya mencaplok berbagai informasi sekaligus kebutuhan hidup dari media sosial, ketimbang berlama-lama belajar seperti generasi sebelumnya yang dianggap kuno, kurang praktis, dan tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Sayangnya, kekurangan informasi dari sumber digital yang tidak didapat dari keutuhan pengetahuan secara komprehensif, membuat 'generasi tunggang langgang’ ini lebih cepat mengunggah kisah menjadi informasi viral yang mudah menyebar, memengaruhi generasi sesamanya.

Mencari jalan pintas

Peluang ini ditangkap peraup cuan untuk menggandeng mereka sebagai “affiliator”, dengan harga lebih murah ketimbang menyewa jasa artis yang mahal.

Sebutlah ibu-ibu muda yang bangga saling memamerkan susu formula anaknya di media sosial, bahkan mereka mengutip frasa yang sama: “demi kewarasan jiwa” ketimbang terpaksa harus menyusui anak, sementara dihantui rasa tidak cukup – membandingkan diri dengan ibu-ibu lain yang ASI perahnya berkantong-kantong berjejalan dalam kulkas.

Mengambil kata viral “insecure”- bahkan ada ibu muda yang sengaja memerah air susunya agar ketahuan berapa volume Air Susu Ibu yang dia bisa produksi sehari-hari, untuk dicocokkan dengan aturan asupan bayi, agar tidak dehidrasi dan tumbuh optimal sesuai kurva.

Botol, dot, dan alat pompa ASI menjadi andalan, sebab bayi sudah terlanjur dibuat bingung puting begitu kenal dot dan tidak lagi mau menyusu pada ibunya.

Padahal, alam membuat proses menyusui begitu simpel dan sederhana. Gratis. Steril karena tanpa perkakas dan alat bantu minum.

Hanya satu yang dibutuhkan calon ibu sebelum anaknya lahir: belajar menyusui dengan benar dari sumber yang tepat.

Agar pelekatan terjadi sempurna, anak menyusu optimal, dan fokus anak menyusu dijaga agar tidak terjadi distraksi dan gagal fokus saat kemampuan motorik sensorik anak sudah semakin berkembang.

Namun, generasi Z cenderung menyalahkan diri saat timbangan berat badan anak tidak naik sesuai harapan. Bukannya belajar lagi soal manajemen laktasi, justru jalan pintas yang dicari, yakni pengganti ASI.

Celah itu tentu lekas disambar industri yang tidak hanya memberi bonus bagi ulasan-ulasan bermutu para pengguna susu formula, tapi juga mereka menciptakan jargon-jargon yang dihafal para tenaga kesehatan, saat modal mengajar pemberian makan bayi dan anak tidak mumpuni.

Bahkan, ada yang nyinyir menuduh ibu pelit, jika tidak memberi anaknya susu formula.

Kelanjutan susu formula tentunya makanan pendamping ASI. Lagi-lagi seakan menjadi hafalan nakes untuk mengagungkan produk ultraproses, sebagai “makanan bayi yang sudah terukur dan tertakar gizinya”, sambil menakut-nakuti para ibu yang memilih membuat makanan bagi anaknya sendiri.

Belum lagi riuh rendah yang berjualan aneka bumbu masak, minyak dan kecap “buat bayi” – seakan-akan bumbu yang digunakan orangtuanya sehari-hari racun bagi anak.

Menelisik media sosial, rasanya semakin mengerikan cara ibu-ibu muda ini saling memengaruhi sesamanya.

Tak jarang saling menyerang, merundung pilihan yang berbeda. Sementara iklan ngawur ikut berbaur, menjual cara andalan saat bayi bermasalah: mogok makan, belum tumbuh gigi, terlambat jalan hingga terlambat bicara.

Membekali gen Z dengan cara tepat

Dengan ciri berdaya beli kuat, generasi Z menciptakan “check out culture and pay later”. Belanja panik di platform toko online tapi tidak punya uang, bukan hal yang mengkhawatirkan bagi mereka, sebab bisa dibayar belakangan bahkan dengan metode mencicil.

Menjadi anomali rasa percaya diri kuat mampu menyicil, sementara sangat minder bicara soal ASI dan membuat makanan pendamping ASI yang mampu menjadikan anak tumbuh optimal.

Bertolak belakang dengan generasi sebelumnya, yang punya modal sebelum melangkah lebih jauh. Termasuk modal pengetahuan. Menggali ilmu dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan.

Dianggap lebih toleran dan egaliter dibanding generasi sebelumnya, gen Z dengan mudahnya menganggap tumbuh kembang anak “tidak sama”, saat terbentur masalah gagal tumbuh.

Belajar “memahami anak dan menerima penolakan anak”, bahkan istilah dokter yang semestinya sangat selektif – sebut saja picky eater dan small eater – alias pemilih makanan dan hanya mampu makan sedikit, digunakan sebagai pembenaran terhadap anak sulit makan.

Tanpa mengevaluasi dengan bijak sumber akar permasalahan sesungguhnya, yang bisa jadi justru lebih serius: dari stimulasi kunyah-telan yang mungkin jadi PR terbengkalai, infeksi menahun hingga anemia yang memberi nafsu makan buruk atau karies gigi yang membuat anak sulit mengunyah tekstur kasar dan berserat.

Membekali gen Z dengan cara penyampaian yang tepat, membuat mereka tergerak untuk lebih “dalam dan komprehensif” adalah pekerjaan rumah yang tidak ringan.

Tapi itu semua jadi tanggung jawab kita semua, agar keluguan mereka dan kesantaian gaya hidupnya tidak diam-diam menggelinding ke jurang pembodohan, yang mengatasnamakan “demi masa depan yang lebih baik” (bagi segelintir elit), sementara ekonomi makin sulit.

Limitasi informasi, apalagi edukasi, membuat generasi Z mudah dipelintir sana sini.

Ciri galak dan blak blakan akhirnya bisa bikin malu, mengacaukan pemahaman pseudosains dari sains sesungguhnya,

Bahkan, hingga membela produk ultraproses seakan-akan pangan andalan sesuai kata iklan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/05/31/094315220/mengharapkan-generasi-z-melawan-pembodohan-kesehatan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke