Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

14 Pelintas Anjer-Panaroekan

Kompas.com - 26/08/2008, 03:00 WIB

Dalam Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan, terdapat tim sepeda Kompas-Polygon yang bersepeda tanpa putus sejak di Anyer pada 15 Agustus 2008 sampai Panarukan pada 25 Agustus 2008. Tim sepeda terdiri atas sepuluh atlet profesional, tiga karyawan Kompas Gramedia, dan seorang pehobi sepeda dari komunitas pecinta sepeda onthel. Berikut ke-14 pesepeda tersebut. 
AGUS SUHERLAN, DIDUKUNG ISTRI

Sebelum bergabung dengan Ekpedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan, Agus Suherlan (26) baru saja pulang dari PON XVII Kalimantan Timur. Pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat, 9 Oktober 1983 ini, berhasil menggondol medali emas untuk kategori men elite down hill.

Baru dua minggu di rumah ia diminta ikut bergabung dengan rekan-rekannya dalam ekspedisi. Agus berangkat setelah mendapat izin dan dukungan istri. "Kalau saya sampai seperti sekarang ini, itu salah satunya berkat dukungan istri saya," kata Agus.
 AMIR MAHMUD, KADO SPESIAL ULANG TAHUN

Amir Mahmud (33) memperoleh kado istimewa selama perjalanan Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan. Pada 17 Agustus lalu, Amir berulang tahun. Sekalipun pria asal Wajo, Sulawesi Selatan, ini mencoba menyembunyikan, tim Kompas-Polygon tahu juga.

Di Cirebon, Jawa Barat, informasi itu diumumkan kepada peserta lain. Siangnya, dalam perjalanan menuju Pekalongan, Jawa Tengah, Amir banjir siraman berbagai jenis minuman dari kawan-kawannya, "Saya diguyur minuman, ada yang pakai soda. Saya terharu teman-teman pembalap dan teman-teman Kompas sangat perhatian," kata Amir.

Saat melintas di Porong, Amir bisa merasakan kesedihan korban lumpur Lapindo. Perjalanan ekspedisi bisa ditakar sebagai latihan. Jelas, suasana selama Ekspedisi berbeda dengan kondisi saat balapan. Dalam ekspedisi, tidak semua pembalap bisa berpacu pada kecepatan maksimal, paling hanya 25-30 kilometer (km) per jam. "Kami bisa menikmati pemandangan. Kalau balapan, ya bisa 50 km hingga 60 km," kata Amir. 
ANDI SURANDI, HIDUP HARUS BERSEPEDA

Bagi Andi Surandi (47), hidup adalah bersepeda. Kredo ini tidak sekadar omong kosong yang diiklankan, melainkan telah dihayati dalam hidup keseharian. Bersama Komunitas Onthel Batavia (Koba), lelaki kelahiran Yogyakarta, 11 Oktober 1961 ini, telah menempuh berbagai tour sepeda. Lebih dari itu, lelaki gondrong yang kini tinggal di Jakarta ini dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari tetap setia menggunakan sepeda onthel-nya.

Bahkan, "karier" bersepeda itu telah dikayuhnya sejak remaja. Setelah lulus STM, Andi bersepeda selama tiga hari dari Yogyakarta sampai Jakarta. Kecintaannya pada sepeda akhirnya membulatkan tekadnya untuk bergabung dalam Ekspedisi Kompas meski dirinya bukan atlet.

Randi, begitu panggilannya, menjadi pemecah kebekuan di tim. Banyak hal "unik" pada dirinya. Termasuk ketidakbisaannya memindahkan gigi sepeda karena telanjur terbiasa menggunakan onthel. ARI DJUWANTO, KE KANTOR TIAP HARI

Ari Djuwanto (43) adalah satu di antara empat peserta tim sepeda Kompas-Polygon yang bukan atlet sepeda profesional. Pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 7 Mei 1965, ini adalah karyawan Elex Media di Jakarta.

Setiap hari ia mengayuh sepeda dari rumahnya di kawasan Bekasi ke Jakarta sejauh 24 kilometer. Dalam sehari ayah dua anak ini bersepeda 48 kilometer per hari. Namun, sejak bergabung di Jakarta, Ari bersepeda tanpa putus dengan rata-rata sehari mesti melahap sekitar 100 km.

Kecintaannya pada sepeda inilah yang akhirnya membuat Ari tertantang sekaligus tidak ingin melewatkan kesempatan mengikuti Ekspedisi dengan rute sepanjang sekitar 1.100 km tersebut. "Lebih enak naik sepeda. Sehat, murah, dan bebas macet," tuturnya. 
SUJADI, MEMBESARKAN HATI

Pengalaman disambut sekaligus diantar berbagai klub sepeda di sejumlah kota di sepanjang rute Anyer-Panarukan membesarkan hati Sujadi (38), atlet sepeda asal Bekasi, Jawa Barat, ini.

Meski pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 2 Mei 1970, ini adalah atlet profesional yang telah mengecap berbagai lomba, pengalaman di ekspedisi kali ini sangat membekas di hatinya. "Rasanya banyak teman," kata Sujadi.

Sebelum di ekspedisi, Yadi juga pernah mengikuti reli serupa. Misalnya, Bicycle for Earth Goes to Bali pada November-Desember 2007 dan juga Bike to Work "Obor Nusantara" selama 20 hari pada Juni 2008. 
CHANDRA RAFSANJANI, JALAN HIDUP SEPEDA

Chandra Rafsanjani (19) adalah peserta termuda dalam Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan. Meski baru lulus SMA dua tahun lalu, remaja kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 17 Januari 1989, ini telah membuktikan diri sebagai atlet sepeda masa depan.

Belum lama ini Chandra menyabet juara II untuk kategori cross country dalam PON XVII Kaltim. Tak kurang dua gelar lainnya telah diraih tahun ini, yakni Juara II Polygon Zoo MTB dan Juara I Criterium MTB Kenyir International Malaysia.

"Saya sudah mantap menjalani hidup sebagai atlet sepeda. Inilah jalan hidup saya," kata Chandra. 
SUGIANTO GIMO ELLIS, TANPA TARGET MENANG DAN KALAH

Sugianto (36) alias Gimo Ellis merasakan lelah luar biasa selama mengikuti Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan. Namun, Gimo juga sangat menikmati perjalanan dalam ekspedisi. Menurut Gimo, kenikmatan dalam perjalanan karena tidak ada menang-kalah dalam ekspedisi ini.

"Kami tidak perlu memaksakan diri sehingga tidak merasa tertekan atau tegang karena di sini tidak ada target medali," kata Gimo.

Dengan ikut ekspedisi, Gimo pun merasa menjadi tahu soal Jalur Daendels saat ini. Menurut Gimo, keikutsertaan dalam ekspedisi juga merupakan yang pertama baginya dalam sebulan terakhir turun menjalani rute jauh. "Paling-paling saya menempuh jarak 140 km, 190 km, dan 140 km. Jadinya saya ibarat seperti orang baru berjalan saja," kata Gimo yang pernah membalap untuk tim single track di Singapura.
 DADI MURCAHYADI, MERASA BAGAI PRESIDEN

Selama mengikuti Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan, Dadi (25) merasa diperlakukan bagai "presiden". Sepanjang perjalanan, pengawalan polisi bisa mengosongkan jalan sehingga membuat pesepeda sangat nyaman. Sambutan masyarakat pun antusias. "Saya merasa menjadi petualang betulan," kata Dadi.

Jagoan cross country ini juga mendapatkan wawasan dan pengalaman baru. Di sepanjang perjalanan Dadi selalu bertemu dengan orang-orang baru. "Ini sangat berarti bagi saya karena keakraban antar kami selama perjalanan sangat terasa karena ini bukan untuk kompetisi," kata peraih emas nomor cross country PON XVII Kalimantan Timur 2008 dan Sea Games 2005 Filipina.

Sepulang dari ekspedisi, bukan hanya istri dan dua anak yang menunggunya di Sumedang, Jawa Barat. Oktober nanti, Dadi berharap status pegawai negeri sipil Kabupaten Sumedang resmi didapatnya setelah menjalani masa sebagai pegawai kontrak selama 5 tahun terakhir. 
EEP PRATISTA, MENANGIS MELIHAT LAUT DAN PANTAI

Dengan mengikuti tim sepeda Ekspedisi 200 Tahun Anjer-Panaroekan, Eep Pratista merasakan solidaritas dan kerja sama antarteman yang tinggi. Pelajaran dari perjalanan, Eep menyayangkan sifat masyarakat Indonesia dalam berkendara secara serampangan dan tidak mau mengalah. Eep menyaksikan pengguna jalan suka memotong jalur orang lain, khususnya di Semarang (Jawa Tengah) dan Surabaya (Jawa Timur).

Rasa lelah menyusuri Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dari Jakarta hingga Surabaya seakan hilang ketika menyaksikan keindahan laut dan pantai utara Jawa. "Saya sempat menangis saat melihat laut. Subhanalllah, saya bersyukur masih bisa melihat ciptaan Allah. Rasa lelah pun tidak terasa. Biasanya saya hanya bersepeda dari rumah ke kantor, tapi kini bisa menyusuri jalan di Jawa," kata karyawan majalah Komputer ini. 
KUSMAWATI YAZID, TERKESAN LIHAT PENGOLAHAN GARAM

Menempuh rute perjalanan panjang dari Anyer sampai Panarukan pada Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan memberikan kesan tersendiri bagi Kusmawati Yazid (26). Salah satunya, Kus baru pertama kali melihat proses pengolahan garam di jalur yang ditempuh, termasuk di Gresik dan Tuban.

"Yang saya lihat berbeda dengan yang saya bayangkan. Garam yang saya makan beda sama yang diolah itu. Apalagi petani garam rela melawan panas terik matahari," kata Kus.

Peraih satu emas dan satu perak di PON XVII Kalimantan Timur ini merasa senang dan merasa mendapatkan banyak pengalaman sepanjang jalur yang dilalui. Menurut Kus, mengikuti Ekspedisi dengan bersepeda merupakan refreshing sekaligus latihan.

"Saya senang dengan tim Kompas yang kompak sehingga kami tidak keleleran. Sayangnya, kami melihat kesadaran masyarakat terhadap ketertiban berlalu lintas masih rendah. Di Surabaya semrawut, masak jalur orang dipotong," kata Kus. 
MARTA MUFRENI, PEDULI PENGENDARA SEPEDA PANTURA

Sepanjang perjalanan, Marta Mufreni (33) terlihat paling menikmati. Di sepanjang jalan, ia tak segan membaur di tengah pesepeda lokal yang mengiringi ekspedisi. Beberapa kali Marta membunuh kebosanan dengan melakukan atraksi. Di Tuban, misalnya, Marta sempat mempertontonkan kemampuan bersepeda menaiki tangga hotel.

Mantan atlet balap sepeda DKI Jakarta dan anggota komunitas Bike to Work ini prihatin dengan kerusakan jalan di jalur pantai utara (pantura) Jawa, khususnya wilayah Jawa Tengah bagian timur. Kerusakan itu mengganggu kenyamanan dan membahayakan para pengendara kendaraan, terutama sepeda motor dan sepeda kayuh.

Sepanjang perjalanan Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan, Marta terkesan dengan masyarakat sederhana yang masih mengendarai sepeda di jalur pantura. Mereka yang terdiri atas anak-anak sekolah, petani, dan pedagang tidak mendapat tempat dan acap kali terancam bahaya jika ada kendaraan besar yang menyalip serampangan.

"Pemerintah perlu memikirkan para pengendara sepeda kayuh di jalan utama perdagangan itu. Para pengemudi kendaraan juga perlu menghargai para pengayuh sepeda itu," kata Marta. 
MUBAIDILLAH, LEBIH DEKAT DENGAN TUHAN

Ada pengalaman batin mendalam yang dirasakan Mubaidillah selama mengikuti ekspedisi sejauh sekitar 1.100 kilometer. Selama perjalanan, lelaki kelahiran Jakarta, 10 Mei 1972 ini, justru selalu tepat waktu melaksanakan shalat lima waktu. "Padahal, biasanya terlambat," kata ayah satu anak ini.

Tidak hanya itu, ekspedisi yang berat itu juga berkesan karena mesti dijalani saat anaknya merayakan ulang tahun yang pertama. Pada hari ketujuh, 21 Agustus 2008, anak pertamanya merayakan ulang tahun yang pertama.

Mubadillah adalah salah seorang peserta yang bukan atlet sepeda profesional. Ubay-demikian ia biasa disapa-adalah karyawan Kompas bagian SDM Umum di Jakarta. Tiga kali sebulan Ubay berangkat ke kantor naik sepeda sejauh 32 kilometer. 
SYAFRUDIN SETIAWAN, DUA KALI TEMPUH JALUR PANJANG

Rasa lelah bercampur senang dirasakan Syafrudin saat menjadi peserta Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan. Pemandangan indah pada jalur yang dilalui menjadi penghibur rasa lelah. Pria berusia 28 tahun itu menggemari olahraga bersepeda sejak SMA. Kini, kesenangannya itu didukung dengan pekerjaannya di bengkel sepeda dan tukang cat sepeda motor.

Hingga kini Udin telah dua kali menempuh rute panjang, yakni jalur Jakarta-Bali dan Anyer-Panarukan. Bedanya dulu ditempuh 22 hari, sementara ekspedisi ini ditempuh dalam 11 hari. Dalam ekspedisi ini, cuaca panas menjadi lawan berat para pembalap sepeda. "Saya gosong, tetapi saya senang sebab rasanya seru berpetualang dengan bersepeda," tutur Udin. 
WAHYUTI SRI RAHAYU, JADI TAHU JALUR SEJARAH

Bergabung dengan Ekspedisi membuat Wahyuti (27) menjadi mengerti jalur sejarah Jalan Raya Pos, jalan raya yang digagas oleh Gubernur Hindia Belanda Herman William Daendels. Wahyuti juga merasa senang punya banyak teman dan sekaligus menambah pengalaman.

"Yang terpenting saya tahu Jalur Daendels. Saya juga bisa bermain sambil berlatih. Saya terkesan melihat tambak udang dan tambak garam. Biasanya berlatih di gunung, sekarang bisa melihat pantai," tutur Wahyuti.

Butuh izin khusus dari pimpinannya di Dinas Pertamanan Kota Bandung agar Wahyuti bisa ikut Ekspedisi. Di Semarang, Jawa Tengah, kaki Wahyuti dijahit karena terluka. Bukan karena bersepeda, 3 jahitan itu karena Wahyuti tergelincir di kolam renang sebuah hotel di Semarang. Namun, kemauan keras dan kerja sama tim membuat Wahyuti bertahan sampai menembus Panarukan, Kabupaten Situbondo. (LAS/ACI/HEN)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com