Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"I Mangkawani", Pergelutan "Siri' na Pesse"

Kompas.com - 20/12/2008, 22:09 WIB

Oleh

Aryo Wisanggeni Genthong

Arung Mangkau berdiri angkuh dalam kemurkaannya, sementara anak lelakinya, Tonrawali, berlutut memohon ampunan sang ayah bagi adik perempuannya, I Mangkawani. ”Pesseku, Puang,” seru Tonrawali di antara tangisan tertahannya. Arung Mangkau terenyak. Dipandanginya tengkuk Tonrawali yang bersujud dengan mata nanar. ”Apakah pessemu bukan pesseku?” tanya sang ayah.

Itu adalah bagian dari lakon drama klasik Bugis, ”We Sangiang I Mangkawani”, yang dipentaskan di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, Makassar, Sulawesi Selatan, tanggal 27, 28, dan 29 November lalu. Bagi penikmat teater di Makassar yang akrab dengan nilai siri’ (kehormatan/harga diri) dan pesse (empati/solidaritas) Tonrawali harus menghabisi nyawa sahabatnya, La Fadomai, demi memulihkan kehormatan keluarga Arung Mangkau. Mirip umumnya kisah klasik drama percintaan, cerita berujung maut untuk pelaku utama.

Sepanjang hampir dua jam, penonton yang tiga hari berturut-turut memadati gedung kesenian berkapasitas 200 orang itu larut dalam suasana tegang dan terharu. Suasana demikian juga terjadi pada pementasan sore harinya yang dikhususkan untuk anak-anak sekolah. Oleh pengelola gedung kesenian, ada semacam ”kolaborasi” dengan guru-guru SMA untuk memobilisasi para siswa menonton drama klasik itu agar jiwa remaja tak kerontang akan nilai tradisi.

Kesadaran

Drama ”We Sangiang I Mangkawani” membangkitkan kesadaran bahwa universalitas manusia adalah hidup dengan nilai. Pilihan jalan hidup menjadi bernilai ketika ia disandarkan kepada nilai. Pilihan I Mangkawani untuk kawin lari adalah keberpihakan kepada nilai kesetiaan kepada kekasih, setia kepada janji. Di pihak lain, Arung Mangkau mempertahankan siri’nya atau harga dirinya.

”Iatopa lise’ atikku. Tetapi, adikmu We Sangiang I Mangkawani telah memilih jalannya sendiri. Ia memilih melepaskan adat kemuliaannya yang dipercayakan rakyat kepadanya. Masiri’ka, anakku. Ia atama’ri padatta rupatau tonra. Karena itu, hukumlah mereka yang sudah menginjak-injak adat kemuliaannya,” titah sang penguasa Tanah Ogi.

Sang ayah menyodorkan badik pusaka Mana Arajang kepada Tonrawali. Si anak pun mencabut badik dari sarung yang masih dipegang ayahnya. Sebagian orang tercekat, beberapa menghela napas panjang merenungi cinta terlarang I Mangkawani.

Arung Mangkau telah menekankan siri’ di atas pesse-nya, kehormatan di atas kasih sayangnya kepada I Mangkawani, karena si anak memilih lari bersama kekasihnya, La Fadomai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com