Kemiskinan membuat mereka meninggalkan kampung halaman menuju Malaysia. Namun, nasib mereka berakhir di tangan sindikat perdagangan manusia. Mereka dijual, disekap, dan dilacurkan tanpa dibayar.
Rabu (28/1), Kepolisian Diraja Malaysia dan perwakilan Kepolisian Negara RI (Polri) di Kuching kembali membebaskan lima perempuan korban human trafficking (perdagangan manusia). Mereka kini ditampung di Konsulat Indonesia di Kuching.
”Dua korban berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah, dan tiga lainnya dari Kalimantan Barat. Usianya masih belasan tahun,” kata Komisaris Hendra Wirawan, perwakilan Polri di Kuching, Malaysia.
Kelima korban itu menjadi korban perdagangan manusia yang bermodus agen tenaga kerja. Mereka dilacurkan secara paksa. Sindikat perdagangan manusia kini juga beroperasi dengan modus penculikan, seperti yang dialami SS (15), siswi SMP asal Lampung. SS bebas pada Desember 2008.
Dalam satu bulan ini sudah 14 perempuan Indonesia korban trafficking dibebaskan dari tangan sindikat perdagangan manusia di Malaysia.
Namun, korban yang berhasil dibebaskan ini hanyalah fenomena puncak gunung es. ”Masih ada ribuan lagi yang kami yakini masih berada di tangan sindikat itu,” kata Hendra.
Kemiskinan
Pengalaman tragis tentang buruh migran Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia di luar negeri sudah berkali-kali dikisahkan. Kemiskinan di negeri sendiri menjadi penyebab tetap tingginya arus buruh migran Indonesia.
Simaklah kisah Rani (16)— bukan nama sebenarnya—salah satu korban yang baru terbebas, Jumat (9/1). Tubuhnya mungil dan wajahnya manis. Ia baru saja tamat SMP ketika seorang agen pencari tenaga kerja bernama Lisa menawarinya menjadi penjaga kedai di Malaysia dengan gaji 8.000 ringgit per bulan.
”Kami keluarga miskin. Adik saya banyak. Dengan gaji segitu, saya berpikir bisa membiayai sekolah adik-adik,” kata gadis berkulit kuning ini.