Rani terbujuk. Tanpa paspor, dia dibawa Lisa menyeberang ke Malaysia. Di sana, Lisa menjual Rani kepada seorang warga negara Malaysia bernama Abu, yang lalu menjualnya lagi kepada Alung.
Oleh Alung, Rani disekap di salah satu rumah di Lorong Satok, Jalan Kepayang, Taman Rose, Kuching. Rani dipaksa melacur. Tiap hari Rani harus melayani 2-3 pelanggan. ”Ia (Alung) bilang, saya berutang kepadanya karena dia telah membeli kami dari Abu. Setelah melayani 100 pelanggan, utang saya baru lunas, baru saya bisa bebas,” kata Rani.
Namun, setelah setahun Rani disekap dan dilacurkan, tak ada tanda-tanda ia akan dibebaskan oleh Alung. Akhirnya, Kepolisian Diraja Malaysia mendapat laporan adanya perempuan-perempuan yang disekap di salah satu rumah di Lorong Satok. Polisi lalu membebaskan Rani dan tujuh temannya—semuanya warga negara Indonesia.
Mencari perempuan-perempuan yang berada di tangan sindikat perdagangan manusia ini seperti mengejar bayang-bayang.
”Kami di sini hanya menerima limpahan masalah. Tiap hari masih ada korban baru yang masuk ke Malaysia,” kata Hendra.
Pertanyaannya, kenapa para korban itu bisa dengan mudah dibawa masuk ke Malaysia?
Di depan mata aparat
Pertanyaan tersebut dapat dengan mudah terjawab jika suasana di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong-Tebedu (Malaysia) diamati. Gerbang perbatasan dua negara ini sangat longgar.
Mobil-mobil pribadi bebas keluar masuk tanpa diperiksa oleh pihak imigrasi. Mereka yang melintas ke Malaysia tidak perlu mengecap paspor. Bus-bus yang lewat pos gerbang juga tidak diperiksa. Tak ada petugas yang mengecek penumpang yang tetap berada di dalam bus.
Kepala Kantor Imigrasi PPLB Entikong Sugeng Harjanto mengatakan, pihaknya memang memberikan kelonggaran kepada warga Entikong untuk melewati pos perbatasan tanpa pemeriksaan paspor. Namun, Sugeng membantah kelonggaran itu digunakan oleh sindikat perdagangan manusia untuk membawa korbannya.