Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batik Priangan yang Tertatih

Kompas.com - 30/05/2010, 11:41 WIB

KOMPAS.com - Di sebuah ”pajagan” (tempat membuat batik), enam perempuan dengan canting duduk mengelilingi sebuah kompor berbahan bakar gas. Mereka merupakan generasi ketiga pembatik tulis Sukapura di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya, yang masih setia bertahan menjaga warisan leluhurnya.

Keenam perempuan itu adalah Oom (55) bersama lima sanak saudaranya. Oom bekerja pada Enung Nurul Huda Kamaludin (63) yang sejak tahun 1976 menjadi perajin batik, meneruskan usaha milik ibunya. Enung, yang mengikuti acara pameran ”The Dancing Peacock, Revitalisasi Tradisi Batik Priangan” di Bentara Budaya Jakarta, 20-30 Mei, adalah salah satu dari 13 perajin batik Sukapura yang masih bertahan.

”Dulu sebelum tahun 1990 saya membawa sendiri batik ke toko-toko di pasar di Tasikmalaya selatan. Dalam seminggu, batik saya bisa laku sekitar sembilan kodi. Setiap kali membawa batik ke pasar selalu habis,” cerita Enung.

Kini dia tidak lagi membawa batiknya ke pasar, melainkan konsumen yang datang sendiri ke rumahnya di Jalan Pasarkolot, Kecamatan Sukaraja.

Namun, berbeda dengan dulu, saat ini batik yang dijual Enung paling banyak 20 kain per minggu. Ini karena hanya sebanyak itulah batik tulis yang bisa dihasilkan per minggu.

”Kalau membuat batik cap bisa sampai 10 kodi per minggu. Tetapi batik cap dibikin kalau ada pesanan saja,” kata Enung, yang saat ini dibantu 10 pekerja dari sekitar 100 orang sebelum memasuki tahun 1990.

Dengan 10 orang yang membantunya bekerja, Enung cukup beruntung karena pengusaha lain hanya memiliki paling banyak lima pekerja.

Kondisi ini terjadi karena banyak pekerja beralih memilih menjadi karyawan perusahaan bordir yang mulai marak di Tasikmalaya tahun 1990-an. ”Risiko bekerja di bordir lebih kecil dibandingkan membatik yang memakai api dan kompor. Apalagi upah di perusahaan bordir lebih tinggi,” kata Enung.

Regenerasi mandek
Kondisi tersebut membuat regenerasi pembatik Sukapura mandek. Bahkan, perajin batik Sukapura lainnya, Uyung (57), mengatakan, ”Kalau para pembatik yang ada sekarang meninggal, kemungkinan besar batik Sukapura tidak ada lagi yang meneruskan.” Uyung pun kini hanya memiliki lima karyawan.

Budaya agraris yang melekat pada pembatik juga menjadi hambatan lain pengembangan batik Sukapura, karena setiap kali ada keperluan di sawah seperti tandur atau panen, pembatik akan meninggalkan sementara kegiatan membatiknya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com