Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Naik Bersama Batik Lasem

Kompas.com - 23/02/2011, 05:22 WIB

Usaha batik kala itu memang tidak cukup menguntungkan. Belitan tengkulak yang menjadikan keuntungan amat tipis, hanya Rp 1.500 per potong. Pengusaha batik tiarap. Buruh batik megap-megap dan akhirnya batik lasem pun terkapar di dasar.

Lulus sekolah menengah atas, Santoso muda merantau ke Jakarta. Beragam pekerjaan dijalani, termasuk mengumpulkan plastik bekas pembungkus mi instan. ”Saya pernah mengalami gajian Rp 45.000 per bulan,” kenangnya. Saat itu dia bekerja di sebuah perusahaan mebel ternama di Cibinong.

Tahun 1999, Santoso memutuskan pulang ke Lasem. Menikah pada tahun 2000, pasangan Santoso-Andriana masih mencoba beragam pekerjaan, mulai dari pengepul palawija sampai jual beli tembaga.

Titik balik terjadi tahun 2005, ketika Santoso ikut pelatihan batik Dinas Perindustrian Kabupaten Rembang. Bermodal pinjaman Rp 15 juta, Santoso memulai usahanya. ”Perjudian” pertama terjadi Maret 2005 ketika Santoso mengikuti pameran di Jakarta. Hasilnya? ”Cuma dapat Rp 475.000,” katanya tertawa.

Namun, itulah awal. Pesanan kemudian mengalir. Pengalaman itu membuat Santoso terhitung rajin berpameran, sekalipun butuh minimal Rp 17,5 juta untuk sekali pameran di Jakarta. ”Tetapi dampaknya jangka panjang,” katanya.

Inovasi

Keunggulan batik lasem adalah murni batik tulis, tanpa teknik colet atau celup sebagaimana dipraktikkan di banyak sentra batik di daerah lain. Selembar kain batik lasem bisa dihargai Rp 100.000-Rp 700.000.

Sekalipun kondisi sekarang relatif lebih baik, Santoso berharap pemerintah terus menggairahkan industri batik, semisal dengan tetap mempertahankan kewajiban berseragam batik bagi pegawai negeri. ”Ibaratnya, gunung boleh digali, laut boleh dikuras, hutan boleh ditebangi, tapi batik tetap jalan,” kata Santoso yang kini hanya sanggup dua tiga jam membatik. Waktunya lebih banyak tersita untuk mengelola usahanya.

Bagi pengusaha batik, untuk dapat bertahan, kuncinya terletak pada inovasi dan pengembangan kualitas ataupun menggenjot kuantitas. Inovasi mutlak diperlukan karena tantangan semakin berat. Misalnya saja, gempuran kain printing bermotif batik lasem yang harganya hanya separuh batik lasem asli.

Bagi Santoso, dinamika tidak berarti mengabaikan pakem. Kiatnya, warna khas batik lasem—semisal merah marun, biru, coklat, dan ungu— tetap dipertahankan. Namun, motif tetap harus dinamis. Beberapa motif batik lasem yang terkenal adalah kendiri ukel, latohan abangan, parang sekar es teh, lasem sekar jagat, lasem pasiran, dan lasem lerek lung-lungan. Bersama Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kabupaten Rembang, Santoso berupaya mematenkan 20 motif batik dari 200 motif yang ada.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com