Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Telur Merah

Kompas.com - 27/03/2011, 03:59 WIB

”Justru karena itu kau tak perlu mengulangnya!”

”Tapi aku ingin anakku. Sembilan tahun sudah kutunggu.”

Bibi menangisimu tanpa air mata. Rebah pula dirimu tak berdaya pada pangkuannya. Tak ingin kau kenakan lagi topeng-topeng ketabahanmu. Tak pula hendak kau jadikan sulaman anganmu sebagai cadar belaka.

”Lebih sepuluh tahun Tacik (3) menunggumu,” bibi mulai berkisah. Bergetar suaranya di antara cemas dan pahit berselang-seling.

”Setiap datang bulan, dia menangis berhari-hari. Ragam cara dicoba, banyak ahli didatangi. Nihil belaka. Lalu datang seorang dari jauh itu, membawa ayah dan ibumu ke sana. Bulan berikutnya Tacik hamil dan kau lahir.”

Suara bibi menghilang. Atau menjauh? Kau memilih untuk menunggu. Kau tahu inilah bagian masa lalu yang hendak diingkari itu. Yang seolah hendak dibuang, tetapi akar-akarnya tak tercerabut.

”Sesudah kau mulai pandai berlari, datang seseorang menagih sesuatu. Katanya, tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, segala sesuatu ada nilai tukarnya. Begitulah perjanjian yang dahulu disepakati demi kelahiranmu,” bibi melanjutkan. Telapak tangannya dingin berkeringat dalam genggamanmu.

”Tacik meminta tenggang, lalu mencari sembarang perempuan untuk mengandung adik tirimu. Anak itu lahir kemudian.”

Kau terkejut dicengkeram gemetar pada saat yang sama. Sungguh itu bagian dari cerita silam yang tak terduga.

”Apa yang terjadi dengan adikku?”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com