Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Telur Merah

Kompas.com - 27/03/2011, 03:59 WIB

”Ayahmu yang menggendong dan memandikanmu. Kadang-kadang kugantikan. Tapi kau selalu rewel dalam dekapanku, tak pernah lama anteng di gendonganku. Dasar wan bik (2),” mata bibi melirik padamu, menyiramkan sisa kejengkelan masa lalu, berbaur rasa sayangnya padamu yang tak terhitung.

Kau tertawa.

”Barangkali karena naluri kecilku tahu bahwa aku akan lebih lama berada dalam asuhanmu,” ucapmu lepas.

Ucapan yang kemudian mengejutkanmu dan menjerat kalian berdua dalam pekatnya kepedihan kenangan masa lalu. Kebahagiaan yang tersisa dari penggalan silam itu samar dan rapuh belaka. Suara tawamu surut dengan segera. Bibi menyeka ujung mata dan meneguk lambat seduhan teh terhidang.

Senyap. Berbagai bunyi dan suara tertiup entah ke mana. Kau raup tangan bibi kemudian.

”Ik, ada yang mengatakan Ibu pergi pada suatu tempat sebelum mengandung aku. Antarlah aku ke sana.”

”Tidak akan!” bibi menghardikmu dengan tajam. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya sejak mula mengasuhmu setelah ibumu berpulang saat lima tahun usiamu.

”Tapi aku sungguh ingin,” kau memohon. Mengalir air matamu, menggenangi harapanmu yang tersulam sejauh ini.

”Kukatakan padamu, jangan pernah satu kali pun melakukannya!” lagi bibi mengulang peringatannya.

”Ramuan mereka berhasil bagi Ibu, pastilah bagiku juga,” kau tak berhenti.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com