Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Telur Merah

Kompas.com - 27/03/2011, 03:59 WIB

”Duduklah, Ik, (1)” salammu menyambut dengan nada riang. Menyamarkan pedih yang berkilauan dalam genggaman benakmu.

”Sehat bayinya? Lancarkah air susu ibunya?” Lagi kau berkata, tepatnya berseru agar nada riang itu tersampaikan sejelas-jelasnya. Nada yang menipu dan sungguh kau tahu bahwa bibimu tak akan tertipu.

”Sehat, sudah bertambah satu kilo beratnya,” bibi menjawab pelan.

Kau seduh teh dalam poci. Kau sertakan tiga bongkah kecil gula batu. Kotak merah itu terdiam di samping ibu poci dan sepasang anak cangkirnya. Kau tahu apa isinya. Kue ku berbagai bentuk berwarna merah terbuat dari tepung ketan yang legit, membalut kacang hijau tumbuk di dalamnya. Pastilah ada juga kue mangkuk merah muda dengan daun pisang sebagai takirnya. Harum daun pisang terkukus itu melekat samar. Apalagi? Barangkali kue wajik, yang butiran beras ketannya saling melekat berkilau-kilau oleh minyak yang gurih. Entah merah muda atau hijau warna wajik itu. Tapi yang tak akan tertinggal pastilah ada telur rebus yang cangkangnya sungguh merah karena sumba. Itulah tradisi telur merah. Telur penanda kelahiran, merah, perlambang kebahagiaan. Satu butir telur untuk penanda bayi perempuan, sepasang telur untuk bayi laki-laki.

Kaummu menamakan bingkisan itu Ma gui an atau Ma yek. Tradisi membagi buah tangan sebagai penanda kelahiran tepat ketika sang bayi genap berusia satu bulan. Itulah kebahagiaan atas anugerah yang harus dirayakan dan diberitakan. Begitulah kotak merah Ma gui an itu dibagikan kepada kerabat dan tetangga, sebagai bagian dari tradisi telur merah.

Kau suguhkan teh di meja makan di mana bibi duduk. Piring kecil alas cangkir berdenting lirih saat bersentuhan dengan meja marmer peninggalan Ibu. Bibi mengusap-usap marmer itu, seolah merayapi gurat-guratnya yang tak lagi utuh. Ada beberapa retak dan parutan serupa butiran pasir pada beberapa sudutnya.

Kau tahu bibi sedang merindui ibumu.

”Apakah Ma gui an kelahiranku dulu juga seperti ini?” tanyamu kemudian, sembari mengunyah sepotong kue ku. Pertanyaan itu lebih sebagai upayamu untuk menetralisir suasana muram yang seolah mengambang di antara kalian. Kepala bibi bergerak mengangguk. Matanya yang kecil memanjang berkedip lambat, menyiratkan terawang yang jauh, seolah menembus perjalanan sejarah silam.

”Tidak banyak toko roti atau tukang kue di masa itu. Sebagian harus kami masak sendiri. Aku membuat kue ku dan wajik. Tetangga sebelah rumah memasak kue mangkok dan kue lapis. Ibumu memilih merebus sendiri telur-telur itu. Tangannya berwarna merah berhari-hari karena sumba. Nyaris tak berani dia menyentuhmu sesudah itu. Khawatir bekas sumba pada telapak tangan itu akan menodai kulitmu.”

”Lalu bagaimana?” kau sungguh ingin tahu. Tidak sering bibi sudi berbagai cerita tentang masa kecilmu. Selalu ada banyak alasan untuk mengalihkannya pada hal-hal lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com