Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Chitra Subijakto, Terpikat Kain Tradisional

Kompas.com - 28/04/2011, 17:01 WIB

KOMPAS.com - Fashion stylist Chitra Subijakto dikenal dengan gaya busananya yang selalu memadukan unsur modern dan tradisional. Dalam banyak kesempatan resmi maupun semiformal, Chitra terlihat sering mengenakan sarung dari daerah Nusa Tenggara Timur, yang dipadukan dengan kebaya encim tahun 20-an atau 30-an.

Kecintaannya pada kain tradisional ini tidak muncul tiba-tiba, atau sekadar mengikuti tren saja. Sejak kecil, Chitra sudah "dicekoki" dengan kain tradisional oleh ibunya, Raharty Subijakto. Ketika mendampingi suaminya, Laksamana Madya ALRI R. Subijakto, bertugas sebagai duta besar RI di Turki dan Yugoslavia, Raharty selalu memakai kain dan kebaya dalam berbagai acara. Karena gaya busananya tersebut, perempuan yang akrab disapa Titi ini pernah terpilih sebagai "Best Dressed Woman" di antara istri-istri Duta Besar dari berbagai negara.

Ketika kembali ke Indonesia, Raharty tetap rajin mengenakan kain panjang dan kebaya, demikian menurut salah satu putrinya, Mita Subijakto, dalam artikel Mengenang Raharty Subijakto yang dimuat di buku Koleksi Batik dan Songket Warisan Rahmi Hatta dan Raharty Subijakto. Tidak hanya untuk menghadiri acara resmi, tetapi juga untuk kegiatan sehari-hari seperti jalan-jalan ke pusat perbelanjaan Sarinah. Ke tempat wisata pun Raharty tidak pernah lepas dari busana tersebut.

Chitra sendiri mengaku tidak mengetahui persis bagaimana kiprah sang ibu saat masih tinggal di Ankara, Turki. Ia hanya mengingatnya dari cerita-cerita empat kakaknya.

"Ibu itu di luar negeri menjahit kebaya sendiri, karena tidak mungkin menjahit kebaya di sana. Ibu juga membuat pola sendiri, mewiron sendiri kain-kainnya, dan menggelung rambut sendiri karena tidak mungkin ke salon. Dulu saya juga diajarin, tapi pusing," tutur Chitra, saat talkshow "Mengenang Rahmi Hatta dan Raharty Subijakto sebagai Pecinta Wastra Adati", di Museum Tekstil Jakarta, beberapa waktu lalu.

Boleh dibilang perempuan yang kini menjadi penata kostum di film-film ini tidak mengalami masa kecil seperti anak-anak pada umumnya. Sang ibu kerap mengajaknya melihat-lihat koleksi kain Ibu Asmoro Damais (salah satu pemrakarsa Museum Batik Indonesia), Iwan Tirta, ke museum, atau ke tempat-tempat pembuatan kain batik. Jika anak lain nonton film, ia malah diajak nonton wayang. Chitra juga diwajibkan belajar menari Jawa.

"Dulu bosen banget, pengennya ke Ancol, bukan tempat pembuatan kain. Kalau liburan, boleh ke luar negeri, tapi sebaiknya juga mengunjungi daerah-daerah di Indonesia," kenang penata kostum film Laskar Pelangi ini.

Tetapi karena sudah terbiasa melihat kain-kain tradisional, tanpa sadar hal itu melekat hingga ia dewasa. Sebagai anak muda ia senang memakai jeans, tapi ia juga senang mengenakan kain karena sudah melihat sang ibu selalu memakai kain.

"Saya pernah bilang, Jakarta kan panas, tapi ibu kok betah pakai kebaya? Lalu saya dikenalin ke kebaya encim. Saya sendiri senang kebaya encim karena bisa dijadikan kardigan, bisa dipadukan dengan jeans, atau dengan gaun terusan di dalamnya," tutur Chitra pada Kompas Female.

Sebenarnya, sang ibu tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk mengenakan kain tradisional. Ia membebaskan putri-putrinya dalam berpakaian, bahkan mengecat rambut. Asal, tidak berpenampilan seksi, dan tetap sopan. Menurut Chitra, ibunya hanya sebal kalau ia memakai pakaian serba gelap atau hitam. Kalau masih muda sebaiknya pakai warna cerah, begitu kata ibunya.

Saat ini, kain-kain koleksi Raharty yang jumlahnya ratusan disimpan di sebuah peti di rumahnya di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Kain-kain batik itu dilipat dan masih diwiron. Chitra mengagumi sebagian koleksi kainnya yang berwarna cerah, seperti turquoise dan ungu. Kain-kain yang usianya sudah puluhan tahun itu tidak dapat dipakai terlalu rapat karena sudah rapuh.

Karena pekerjaannya, Chitra jadi sering travelling ke berbagai daerah di Indonesia. Hal ini membuatnya mudah untuk berburu barang-barang khas daerah. Setiap ke daerah, sebisa mungkin ia mampir ke museum, pasar tradisional, pasar loak, atau tempat pembuatan kain tradisional. Ia senang blusukan ke rumah-rumah penduduk untuk mendapatkan barang-barang yang menyimpan banyak cerita di baliknya.

"Kalau ke daerah itu susah mencari kain yang bagus, karena yang baru biasanya serba bling bling. Kain-kain Sumatera, Kalimantan, atau Papua, itu nggak gampang nyarinya. Kadang saya  malah dapat di Bali," seru perempuan yang kini tengah menata kostum untuk film Ronggeng Dukuh Paruk dari buku karya Ahmad Tohari ini.

Pada kedua anaknya, Naradiya (Adiya) dan Narayana (Naya) yang masing-masing berusia 12 dan 10 tahun, Chitra juga berusaha untuk memperkenalkan kain dan budaya Indonesia. Ia tidak mengajarkannya secara langsung, agar tidak terkesan terlalu mendoktrin. Namun saat travelling, ia sering mengajak anak-anaknya menjelajahi daerah-daerah. Seperti ibunya dulu, kini Chitra juga mengajak mereka ke pasar kain atau melihat pembuatan batik.

Kain Indonesia begitu kaya dan beragam, dan bisa didapatkan di hampir setiap daerah. Sudah seharusnya kita mulai mengenal kekayaan ini, dan mengenakannya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

"Kalau ke luar negeri kita pakai kain batik dan kebaya encim, orang itu melihatnya jadi kagum banget. Orang Indonesia bisa stand out kalau pakai paduan busana ini!" seru Chitra.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com