Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarif Bergoyang Tanpa Perencanaan Matang

Kompas.com - 27/06/2011, 03:26 WIB

Agnes Rita S dan Andy Riza Hidayat

Tarif KRL commuterline ancang-ancang diturunkan antara Rp 1.500 dan Rp 3.000. Penurunan tarif ini diberlakukan setelah adanya pertemuan antara PT KAI, PT KAI Commuter Jabodetabek, Komisi V DPR, dan perwakilan komunitas KRLmania, Sabtu (25/6) malam.

Untuk Jakarta-Bogor, semula ditetapkan Rp 9.000, tetapi akhirnya diturunkan menjadi Rp 7.000. Adapun Jakarta-Depok yang semula Rp 9.000 turun menjadi Rp 6.000.

Tarif untuk koridor Bekasi ditetapkan Rp 6.500, Jakarta-Serpong Rp 6.000, dan Jakarta-Tangerang Rp 5.500. Masing-masing tarif berlaku untuk arah sebaliknya.

Tarif commuterline ini kemungkinan akan berlaku mulai tanggal 2 Juli. Disebut kemungkinan karena persoalan tarif kereta sering kali berubah tiba-tiba, bahkan tanpa mekanisme yang jelas.

Kepala Humas PT KAI Sugeng Priyono mengatakan akan mengadakan uji coba tahap dua pola perjalanan baru berikut tarifnya. ”Uji coba tahap dua rencananya dilaksanakan hari Kamis (30/6) dan Jumat (1/7). Pada saat uji coba, sudah menggunakan tarif tersebut,” kata Sugeng, Minggu (26/6).

Moderator komunitas KRLmania, Nurcahyo, mengatakan, salah satu hasil pertemuan Sabtu malam adalah revisi tarif commuterline.

”Jalur Bogor tarifnya menjadi Rp 7.000. Jalur lainnya berpatokan dengan angka jalur Bogor ini,” ucapnya.

Dengan tarif lama, sebagian pengguna KRL yang semula menggunakan kereta ekonomi AC berencana beralih ke kelas ekonomi.

”Dengan tarif lama, saya bisa memilih kelas kereta. Namun, jika tarif jadi naik Rp 9.000, saya pikir lebih baik naik kelas ekonomi,” tutur Ratna (33), warga Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok.

Mekanisme tarif

Peneliti perkeretaapian LIPI, Taufik Hidayat, berpendapat, perubahan tarif KRL seharusnya melewati mekanisme yang jelas. ”Ada peran regulator, yakni Kementerian Perhubungan, yang seharusnya bisa ikut mengambil keputusan soal tarif KRL komersial. Perubahan tarif ini seakan berjalan tanpa ada mekanisme yang jelas,” tutur Taufik.

Sebagai regulator, Kementerian Perhubungan punya hak untuk memanggil PT KAI, PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ), serta perwakilan masyarakat yang sah untuk membahas persoalan tarif ini.

Tarif KRL seharusnya ditentukan berdasarkan pedoman tarif. Pedoman tarif ini meliputi kebutuhan internal PT KAI dan PT KCJ termasuk segala biaya operasional. Selain itu, tarif juga memperhitungkan faktor eksternal berupa inflasi.

Dari sisi konsumen, tarif yang ditetapkan seharusnya diikuti dengan standar pelayanan minimun (SPM) yang akan didapatkan. Regulator juga harus mengawasi pelayanan yang diberikan operator dengan tarif kereta komersial.

Selama ini, tidak ada kejelasan mengenai tarif commuterline yang akan diberlakukan. ”Konsumen tidak jelas akan mendapatkan hak apa dengan tarif segitu. Misalnya, kalau kereta berhenti di setiap stasiun, berapa lama kereta akan berhenti? Bagaimana bila kereta yang tidak jalan? Berapa jarak kedatangan satu kereta dengan kereta lain?” papar Taufik.

Pengkajian tarif seharusnya dibahas bersama dalam rapat umum pemegang saham (RUPS). Pemerintah selaku pemegang saham seharusnya juga ikut menentukan besaran tarif kereta nonekonomi di RUPS.

Taufik mencatat, kereta api kerap menjadi tumbal. Selama ini, kereta api identik dengan angkutan penumpang yang bersifat sosial. Akibatnya, besaran tarif terus ditekan, terutama kereta ekonomi. Padahal, PT KAI adalah BUMN yang diharusnya mencari laba.

”Rencana kenaikan tarif kereta sempat dibatalkan menjelang Pemilu 2009. Lalu, kenaikan tarif kereta ekonomi Juli 2010 ditangguhkan ke Oktober 2010, lalu ditangguhkan lagi Januari 2011, dan hingga kini belum terlaksana juga,” papar Taufik.

Penangguhan kenaikan tarif kereta ekonomi sebenarnya tidak masalah apabila pemerintah konsekuen dengan memberikan subsidi (public service obligation/PSO). Namun, PSO kerap tidak seimbang.

Ketidakseimbangan subsidi ini yang membuat KRL commuterline dilahirkan. Tarif yang ditetapkan juga didasari berbagai pertimbangan, termasuk biaya yang dibutuhkan untuk membuat KRL tetap hidup ketika subsidi pemerintah seret.

Suyono Dikun, Guru Besar Perencanaan dan Kebijakan Transportasi Universitas Indonesia, mengatakan, perubahan jadwal dan tarif merupakan keputusan sensitif karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Demi peningkatan pelayanan, keputusan seperti ini harus diambil dengan segala risiko.

Seiring dengan keputusan itu, masyarakat berhak mengontrol peningkatan pelayanan.

Dukung kereta api

Suyono melihat persoalan mendasar adalah bagaimana membangun PT KCJ menjadi perusahaan profesional, mandiri, efisien, dan dapat memberikan pelayanan yang nyaman.

Idealnya, perlu investasi pemerintah dengan mengucurkan dana puluhan triliun rupiah untuk membangun jalur baru, jalan layang, underpass, stasiun yang modern, dan persinyalan yang canggih dengan tenaga listrik yang jauh lebih besar dari saat ini. Pemerintah harus meningkatkan anggaran untuk perkeretaapian sampai dengan sekitar Rp 20 triliun per tahun dan mengundang sektor swasta untuk menanamkan investasi.

Seiring dengan itu, Direktorat Jenderal Kereta Api harus meningkatkan kemampuan personel dan kelembagaannya agar mampu melaksanakan pembangunan besar-besaran perkeretaapian Jabodetabek.

Dalam jangka pendek sampai tahun 2013, pemerintah harus memperbaiki kondisi stasiun, penambahan KRL, dan menghentikan penumpang yang naik ke atap. Pada jangka menengah sampai tahun 2015, pemerintah harus meningkatkan anggaran operasional untuk KRL menjadi Rp 20 triliun per tahun. Dana ini untuk mengejar kemampuan mengangkut penumpang 1,2 juta penumpang per hari.

Pemerintah juga perlu memikirkan integrasi stasiun dengan bus transjakarta dan membangun infrastruktur pendukung.

Sementara untuk jangka panjang, sampai tahun 2025, KRL harus dapat mengangkut 3 sampai 5 juta penumpang per hari. Pada tahap ini sudah ada peningkatan daya listrik secara signifikan, perbaikan persinyalan, perhatian serius pada keselamatan, kecepatan, dan manajemen yang profesional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com