Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dokter Indonesia Egois?

Kompas.com - 21/07/2011, 15:49 WIB

oleh : Dr.Andri,SpKJ *

Dalam berbagai tulisan tentang buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia, para penulis atau komentator hampir selalu bicara tentang buruknya pelayanan dokter yang dikatakan kurang komunikatif, mau menang sendiri dan bersikap materialistis. Hampir tidak pernah ada yang membahas atau menyalahkan pihak perawat, administrasi rumah sakit, pihak laboratorium atau sarana pendukung kesehatan lain.

Saya mendengar salah satu cerita dari pasien saya yang berobat ke Malaysia. Negeri jiran yang saat ini sedang menggalakkan wisata medisnya ini merupakan salah satu tujuan baru berobat ke luar negeri. Bisa dimaklumi karena selain murah, pasien mengatakan juga pelayanan di sana lebih baik.

Pasien saya ini mengatakan, ketika dia datang mengantar orang tuanya berobat ke sana, pelayanan bahkan sudah dimulai dari penjemputan di bandara. Jadi, tiba langsung masuk ambulan dan sampai ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit pun pasien langsung dibawa ke ruang perawatan dan langsung dilakukan pemeriksaan oleh tim termasuk pemeriksaan penunjang seperti laboratorium.

Keluarga pasien pun diajak ke tempat ruang tunggu yang nyaman dengan ketersediaan berbagai macam minuman dan makanan kecil. Belum lagi ada petugas RS yang memberikan petunjuk tentang mencari tempat inap di sekitar RS sehingga mempermudah pasien dan keluarga.

Dikatakan pasien saya, pelayanannya cepat dan tidak menunggu-nunggu, pasien tidak dibawa ke sana ke mari untuk pemeriksaan tapi cukup tenang saja di dalam kamar kecuali mungkin untuk pemeriksaan radiologi seperti CT-Scan/MRI yang tidak bisa di tempat. Pelayanan lainnya juga ramah,  dari dokter sampai office boy (OB) semua bersikap bersahabat.

Satu yang paling menarik perhatian pasien adalah tim dokter yang bekerja. Saat menerangkan kepada pasien dan keluarga, tim dokter datang bersama-sama. Semua dokter yang terlibat dalam penanganan pasien dilibatkan dalam diskusi. Satu orang dokter menjadi juru bicara yang dikenal pasien sebagai ketua tim. Hal ini membuat pasien dan keluarga menjadi nyaman dengan penjelasan yang jelas dan tidak berbeda-beda antara satu dengan yang lain.

Liaison Team memang suatu keharusan

Satu hal yang memang paling sulit dilakukan di Indonesia adalah kerjasama antar dokter. Sebagai psikiater yang mendalami subspesialisasi Consultation-Liaison Psychiatry, salah satu tugas saya adalah bekerjasama dalam tim-tim medis yang memerlukan bantuan psikiater. Kasus-kasus medis umum yang melibatkan gangguan kejiwaan dan perilaku banyak sekali terdapat di dalam RS dan seringkali tidak terdiagnosis.

Di sinilah kepentingan saya bekerja. Karena hal ini, saya sering terlibat bekerja sama dengan beberapa orang dokter spesialis sekaligus. Namun memang kenyataannya tidak mudah bekerja dalam tim-tim di RS ini. Saya sering melihat masing-masing dokter masih menampilkan egonya masing-masing. Pasien masih dilihat dalam batasan ilmu yang terkotak-kotak. Ada kesan dokter mengobati penyakitnya saja bukan mengobati pasien secara keseluruhan.

Untuk kasus-kasus yang kompleks, hal ini tentunya tidak menguntungkan buat pasien. Kerjasama tim sangat diperlukan, namun sayangnya tidak terjadi dalam praktek sehari-hari. Yang lebih banyak terjadi adalah konsultasi biasa yang seringkali hanya sebatas saran di kertas lembar konsultasi bukan pembicaraan lintas spesialis yang bertujuan mencari jalan keluar terbaik bagi pasien.

Hambatan kolaborasi

Salah satu hal yang paling sering dipertanyakan baik di RS pemerintah maupun RS swasta tentang pelayanan terintegrasi adalah tentang sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang dianut kita adalah pay per service artinya seorang pasien membayar sesuai dengan pelayanan yang diterima. Penanganan pasien dengan kebutuhan lintas dokter spesialis dalam RS akan menyebabkan biaya pelayanan meningkat karena terjadinya konsultasi yang banyak ke banyak dokter. Inilah yang terjadi jika sistem yang digunakan seperti ini.

Seyogyanya, penanganan kasus secara terintegrasi membuat pasien mendapatkan perawatan lebih baik dan akhirnya membuat pasien berkurang masa rawatnya karena lebih cepat menjadi baik kondisinya. Keterlambatan diagnosis adalah yang paling sering dialami pada kasus-kasus penyakit yang kompleks. Penundaan kerjasama dengan bidang lain selain disebabkan faktor bertambahnya biaya kesehatan juga karena keengganan dokter untuk bekerja sama.

Inilah yang perlu dicari jalan keluarnya dalam sistem kesehatan di Indonesia. Bagaimana pola sistem pelayanan kesehatan terintegrasi bisa difasilitasi dengan sistem pembayaran kesehatan yang baik. Sehingga, baik dokter maupun pasien merasa diuntungkan dengan sistem ini. Jika memang dengan sistem yang baik pun si dokter belum mau bekerja sama, maka jawaban judul artikel saya di atas adalah Ya.

Salam Sehat Jiwa!

* Psikiater Bidang Psikosomatik Medis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com