Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengejar Nilai Tambah, Perlukah?

Kompas.com - 02/04/2012, 12:02 WIB

KOMPAS.com - Salah seorang karyawan perusahaan BUMN menyatakan bahwa sebelum bekerja di perusahaan ini, ia bekerja di perusahaan asing. Di perusahaan sebelumnya, proses kerja sudah sangat baik dan sistem pun baku dan mapan. Hanya saja, nuraninya terganggu karena porsi terbesar keuntungan perusahaan dinikmati bukan oleh pekerja, tapi para pemegang saham di luar negeri.

Ia pun meninggalkan perusahaan tersebut untuk bergabung dengan perusahaan BUMN, di mana praktik-praktiknya sangat berbeda dengan perusahaan sebelumnya. Begitu banyak inefisiensi di sana-sini. Ia lalu berusaha mengusulkan perubahan-perubahan dan bahkan kemudian menikmati semangat perubahan yang sedikit demi sedikit mulai diterima atasannya. Meski harus bekerja ekstra keras, ia puas karena paling tidak bisa memberi kontribusi pada negara sendiri.

Kita tentu bangga melihat seseorang yang punya alasan kuat untuk mengorbankan “comfort zone”-nya demi negara. Inilah bentuk keputusan bahwa spirit dan motivasi individu bisa dilandasi "nilai" yang dianutnya.

Ketika Jim Collins dan Jerry Porras menerbitkan buku Built to Last, pada tahun 1994, semua perusahaan secara mewabah menegakkan prinsip dan nilai sebagai pedoman bertingkah laku dan meyakini bahwa menggariskan prinsip dan dasar bertingkah laku adalah hal yang superpenting dalam menjalankan perusahaan. Namun, sering kita menyaksikan praktik di perusahaan yang tidak mencerminkan nilai-nilai yang digaungkan.

Di tembok-tembok ruang rapat Enron, terpampang jelas nilai-nilai perusahaan: Communication, Respect, Integrity, Excellence. Namun, perusahaan ini malah menjadi demikian terkenal karena kecurangannya. Lalu, ke mana nilai integrity yang digaung-gaungkan? Mengapa tulisan integrity di dinding itu serasa tak bertenaga, tak bergigi dan tidak berarti? Apakah values-nya salah diterjemahkan? Apakah memang values dan praktik di perusahaan tersebut sekadar tidak ada hubungannya?

Bila nilai dan praktik di lapangan tidak nyambung, bayangkan betapa sulitnya manajemen puncak dan para pimpinan mengatur dan mengarahkan anggota tim. Bila nilai sekadar menjadi slogan kosong, bagaimana anggota tim bisa betul-betul happy dan merasa melakukan pekerjaan yang berarti?

Mengejar "nilai tambah" dari nilai
Hampir semua perusahaan meletakkan “customer focus” sebagai salah satu nilainya, namun kita bisa lihat penerapan dan dampaknya bisa begitu berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Sebuah perusahaan yang sudah mencantumkan “customer service” sebagai salah satu nilainya, bahkan sangat sempit menerjemahkan istilah “customer service”. Bagi mayoritas karyawan, bahkan pucuk pimpinannya, “service” lebih diartikan pada memperbaiki produk yang rusak, namun tidak ada hubungannya dengan memperhatikan kebutuhan pelanggan akan proses yang cepat dan handal.

Penerjemahan yang keliru dan tidak diturunkannya nilai “customer focus” dalam berbagai prosedur kerja dan panduan pengambilan keputusan, berakibat sulitnya individu untuk “walk the talk”. Ujungnya, nilai yang dimiliki jadi tidak terasa, “tidak bunyi”. Padahal, nilai-nilai dalam sebuah institusi tidak hanya berfungsi untuk mengarahkan tingkah laku, namun juga sebagai perekat individu satu sama lain. Bukankah kita langsung merasa dekat dengan orang yang seiman, sepikiran, dan sependapat?

Ada pula kejadian di mana sebuah perusahaan membatalkan pesanan pelanggan, karena salah hitung di tim internal. Padahal, pelanggan sudah memperhitungkan waktu kedatangan barang tersebut untuk menjalankan bisnisnya. Hal ini tentu tidak hanya membuat frustrasi karyawan dan pelanggan, namun menyebabkan moral karyawan sulit diangkat lagi.

Dengan demikian, tantangan kita adalah membayangkan apa nilai tambah yang bisa diberikan dari nilai-nilai yang kita anut. Singkatnya, prinsip dasar atau “value’ perusahaan, lembaga atau negara, tidak perlu digembar-gemborkan bila tidak memberi nilai tambah. Bila karena prinsip dasar, pelanggan dan karyawan malah dibuat ribet, apa fungsi dan maknanya prinsip tersebut?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com