Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"The Everyday Heroes": Mereka Berbagi karena Cinta

Kompas.com - 10/11/2012, 15:24 WIB

KOMPAS.com - Betapa dahsyatnya kekuatan cinta. Karena cinta, seseorang bisa tergerak untuk melakukan sesuatu yang besar. Dengan cinta, kita jadi punya energi yang besar untuk menghadapi segala tantangan. Berkat cinta, Anda mampu berempati pada orang lain, dan mengorbankan sebagian kehidupan Anda untuk menolong orang lain.

Itulah yang terjadi pada tiga perempuan ini: Yulia Absari Baso alias Ijul Baso, Ina Madjidhan, dan Dessy Suprihartini alias Ibu Uun. Berbekal kekuatan cinta, dengan cara masing-masing mereka bergerak untuk berbagi pada sesama. Karena kecintaannya pada anak-anak, Ijul Baso memutuskan berhenti bekerja dan memilih menjadi relawan di berbagai komunitas sosial yang peduli pada peningkatan kualitas pendidikan anak-anak kurang mampu.

Berawal dari berbagi nasi bungkus untuk para pemulung setiap hari Jumat, Ina Madjidhan yang memiliki kehidupan yang terbilang mapan menggagas Gerakan Berbagi. Gerakan ini berfokus pada empat bidang: pangan, kesehatan, pendidikan, dan tanggap darurat, dengan pertimbangan bahwa satu sama lain saling berkaitan.

Kehidupan masa kecil yang susah membulatkan tekad Ibu Uun untuk berkeliling kampung di Parung Panjang, Bogor, memberikan bantuan apa saja bagi masyarakat miskin di sekitarnya. Dari memberi bantuan pangan untuk anak dengan gizi buruk, mendampingi pasien kanker serviks yang tak punya akses ke layanan kesehatan, hingga mengurus pemakaman mereka yang menyerah karena penyakitnya.

Apa yang membuat Ijul dan Ina rela melepaskan sebagian kehidupannya yang telah mapan dan memilih turun langsung membantu orang-orang yang kekurangan?

Ina mengenang pada Mei 2010, usai shalat Maghrib, ketika tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. "Sepanjang hidup, saya merasa hidup saya kok begini-begini saja. Kehidupan saya cukup, tapi cukup aja. Saya cuma mikirin diri sendiri," ujar Ina, yang berlatar pendidikan komunikasi visual dari Australia, suatu pagi di Poste Kitchen & Bar, Mega Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ia kemudian terpikir untuk membagi nasi bungkus kepada para pemulung, penyapu jalanan, supir truk, siapa saja yang dianggapnya membutuhkan di sekitar tempat tinggalnya di Cinere. Diajaknya pula beberapa orang temannya. Sejak pertama dilakukan, gerakan Nasiku Nasimu ini tidak pernah absen dilakukannya tiap Jumat hingga sekarang. Pembagian nasi juga sudah tersebar ke beberapa titik di Jakarta, bahkan gerakan ini sudah bergulir ke Padang dan Jogjakarta. Nasi bungkus sengaja dipesan ke ibu-ibu, supaya mereka pun bisa mendapatkan penghasilan dari sini.

Untuk bidang kesehatan, Ina antara lain menggiatkan orang untuk menjadi pendonor darah aferesis, untuk pasien kanker yang terganggu sistem pembekuan darahnya akibat pengobatan dengan radiasi atau kemoterapi. Hampir setiap hari ia mengunjungi rumah sakit-rumah sakit untuk mencari anak-anak yang membutuhkan pendonor. Ia sudah punya sejumlah pendonor tetap yang siap siaga, supaya para pasien cepat tertolong. 

Ibu Uun, yang sejak tahun 1988 bekerja di Yayasan TBC, pada tahun 2000 memutuskan untuk mengundurkan diri supaya bisa total bekerja secara independen membantu warga miskin. Di kawasan Bogor Barat, menurutnya banyak kasus anak yang menderita gizi buruk dan perempuan yang mengidap kanker serviks. Baginya, untuk bekerja sosial kita tidak perlu membayangkan untuk membantu masyarakat di pelosok Indonesia lainnya.

"Ngapain jauh-jauh, yang dekat saja masih banyak yang membutuhkan bantuan?" serunya.

Tiap hari Ibu Uun keluar masuk desa untuk menimbang badan anak-anak, dan ngobrol dengan ibu mereka. Banyak hal mengenaskan ia temukan di sini. Uun heran, mengapa meski sudah diberi sumbangan makanan yang bergizi, berat badan anak-anak itu sulit sekali naik. Ternyata, makanan sumbangan itu dibagikan lagi untuk delapan anak. "Pantesan (berat badan) anak balita nggak naik-naik. Naik 1 kg saja susah. Paling naiknya 1/2 ons," katanya.

Di kawasan tersebut, Ibu Uun juga memberikan penyuluhan bagi para perempuan. Ia bertekad, para perempuan tidak boleh bodoh meskipun kondisinya miskin. Perempuan harus bisa berdaya, paling tidak untuk diri sendiri. Ibu Uun mengajarkan warga menyiapkan surat-surat sebagai persyaratan pembuatan JAMKESDA, supaya mereka bisa mendapatkan layanan kesehatan di rumah sakit. Ia juga pernah menggelar pernikahan massal, dan membantu para perempuan mengurus surat N1 hingga N4 di KUA untuk melegalisasi perkawinannya.

Suka-duka mereka
Yang tak kalah penting saat mendampingi warga yang sakit adalah memberikan semangat hidup. Menurut Uun, percuma jika ia berjuang membantu pengobatan jika si pasien sudah tak bersemangat untuk sembuh.

"Saya bahagia kalau bisa menolong anak yang tadinya berstatus gizi buruk menjadi bergizi baik. Saya bahagia ketika seorang ibu mampu berjuang mandiri (untuk mendapatkan layanan kesehatan)," ujarnya. "Dukanya kalau terlambat menolong, pasien sudah komplikasi sehingga dalam seminggu sudah meninggal. Ada juga perempuan yang mengidap kanker serviks pada stadium 4, tetapi suaminya malah minta cerai. Bahkan anaknya juga dibawa suaminya...."

Ina juga merasakan pentingnya pendampingan pasien dan orangtuanya. Bagaimana agar seseorang bersedia patuh pada takdirnya. Ketika seorang pasien anak tidak bisa ditolong lagi, ia mendampingi keluarga agar dapat mengantar anak berpulang dengan cara yang bermartabat. Agar orangtua ikhlas menyiapkan kepergian sang anak, dibutuhkan pendampingan intens yang menurut Ina bisa tiga kali seminggu.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com