Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/10/2018, 05:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

Pasien milenial memang tak ada duanya dibanding --tak usah jauh-jauh-- pasien jaman sepuluh tahun yang lalu. Sebenarnya, kasihan juga para dokter yang masih mengandalkan cara praktek kuno: pasien datang, ditanya keluhan, di’periksa’ ala kadarnya – lalu diberi resep dan selesai.

Lebih gawat lagi jika yang jadi pasien adalah ‘penderita langganan’ – yang sebetulnya bertemu dokter hanya karena butuh resep ulangan entah itu obat diabetes, hipertensi, kolesterol, pengencer darah dan selama ini dianggap menyelamatkan nyawa – tanpa harus mengubah perilaku penyebab penyakitnya.

Tipe pasien seperti ini tipikal ditemui di poli rawat jalan rumah sakit dengan layanan asuransi yang antrinya sejak subuh, atau poli puskesmas yang lucunya paling sesak berjejal di hari Senin atau Jumat.

Pasien milenial tidak akan sudi turut mengantri dengan cara begitu. Mereka biasanya mudah ditemui di praktek-praktek swasta yang dokternya ramai dibahas di medsos (baca: komunitas khusus) atau yang dokternya terkenal karena pasiennya kelas papan atas.

Menangani pasien begini ada sensasi ‘ngeri-ngeri sedap’ tersendiri. Pertama, pasien biasanya datang dengan satu tas hasil pemeriksaan (yang kerap kali mereka periksa ke laboratorium sendiri tanpa pengantar dokter) dan satu lembar daftar pertanyaan. Sidang disertasi saja kadang kalah tegang.

Kedua, dokter harus siap menjadi wasit bagi pasien yang justru membutuhkan ‘opini ketiga – atau bahkan – ke empat’. Setelah ia lelah jajan dokter keliling nusantara, bahkan dunia bila perlu.

Ketiga, siap-siap tepok jidat mendengar pasien menghujat dokter yang dikunjungi sebelumnya bahkan memutuskan henti obat mendadak karena setelah melakukan proses ‘telaah literatur’ (baca: googling) ternyata ia menemukan obatnya punya banyak ‘efek samping yang mengkhawatirkan’.

Keempat, jangan syok bila pasien jika ditanya,"Jadi,....tujuan anda menemui saya?” Maka jawabnya,”Mau sembuh!” padahal ia dalam kondisi kanker lanjut dengan anak sebar di mana-mana dan saya sendiri bukan spesialis onkologi.

Dengan kata lain, di saat pasien menyerah dengan penyakitnya, maka dokter diharapkan pasien menjadi dukun ajaib.

Pernah ada kejadian seorang pasien wanita berperawakan kurus pucat datang ke saya dengan ‘tanpa keluhan’ kecuali ingin mendapatkan panduan ‘hidup lebih sehat lagi’.

Mati-matian beliau mengatakan hidupnya baik-baik saja. Bahkan sudah lama ‘mengikuti pola makan ajaran Dr.Tan’ (kenal saya saja belum).

Setelah usut mengusut ternyata ia rajin membaca bermacam-macam buku kesehatan, rutin membuka video di ponsel dan mendapat terusan informasi dari teman-temannya yang (katanya) mantan pasien saya.

Dengan rasa penasaran bercampur ngeri, saya berhasil mengorek apa yang diyakininya sebagai ‘pola makan sehat’. Setiap pagi hanya makan sayur dan buah – itupun ‘dibela-belain’ yang organik, plus madu yang harganya ratusan ribu.

Telur pun hanya dimakan bagian putihnya. Tidak lagi makan tempe tahu, karena takut berisiko kanker payudara (sebab ibunya meninggal terkena kanker payudara). Tidak lagi makan makanan laut takut kolesterol.

Ketika saya desak ilmunya dari mana, ia kukuh menjawab “Kan saya baca, Dok! Itu dari penelitian loh. Kan dokter sendiri kata teman saya bilang bahwa kuning telur itu ada kolesterolnya!” – suaranya makin tinggi dengan mata membulat hampir loncat dari dari rongga cekungnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com