Menurut sebuah studi di Cornell University, pengunjung menghabiskan lebih sedikit ketika menu produk menggunakan kata-kata atau tanda yang menunjukkan mata uang daripada ketika hanya angka yang digunakan untuk menunjukkan harga.
Tidak melihat pengingat fisik akan uang menciptakan jarak kognitif di kepala kita yang membuat kita lebih mudah untuk fokus pada reward, tanpa khawatir tentang biayanya.
Ketika diskon mudah dihitung, orang cederung berpikir jika harga tersebut adalah tawaran yang lebih baik.
Misalnya, baju seharga Rp 200.000 dengan potongan harga Rp 50.000 tentu lebih mudah dihitung dan membuat orang tergoda untuk membelinya, daripada pakaian dengan harga yang sama namun diskon mencapai Rp 69.150.
Padahal, jika dihitung lebih teliti, diskon terakhir akan lebih menghemat pengeluaran kita.
Baca juga: Belanja Sambil Bermain Ponsel Bisa Bikin Gemuk, Apa Alasannya?
Beberapa supermarket biasanya menawarkan kartu pelanggan dengan fasilitas diskon atau hadiah yang menyertakan frekuensi pembelian.
Semakin sering kita membeli, maka semakin besar diskon atau peluang hadiah yang akan kita dapatkan.
Menurut New York Times, pengecer berhasil menipu konsumen agar lebih banyak belanja dengan menentukan “sweet spot,” pengeluaran berdasarkan pembelian sebelumnya.
Misalnya, harga tiga paket kaleng soda akan dibuat lebih murah jika kita telah berbelanja dengan nominal tertentu. Tentunya, ini akan menarik kita untuk membelinya meski kita tidak membutuhkan soda tersebut.