Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbekal Sakit Hati, Kopi Kadiran dari Sumedang Melesat ke Mancanegara

Kompas.com - 17/10/2019, 16:20 WIB
Reni Susanti,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.comShaleh Raspan tertegun. Rasa sakit tetiba menyeruak dalam dadanya, tatkala ia melihat tagihan kopi yang diminumnya.

Rp 70.000. Itulah angka yang tertulis dalam tagihannya. Jumlah yang sebenarnya sangat biasa bagi penikmat kopi di kafe-kafe ternama.

Namun tidak bagi petani kopi seperti Shaleh.

Harga itu sangat menyiksa, membuatnya sakit hati, mengingat rendahnya harga yang ditawarkan tengkulak pada petani kopi seperti dirinya.

“Harga yang ditawarkan tengkulak Rp 19.000 per kilogram. Sedangkan harga segelas kopi di kafe bisa Rp 20.000-70.000."

"Nyeri hate (sakit hati) bapak melihatnya,” ujar Shaleh kepada Kompas.com di kebunnya, di kawasan Gunung Susuru, Kaduluwung Situraja, Sumedang, Minggu (13/10/2019).

Baca juga: Sosok Presiden SBY Hadir dalam Mimpi, Awali Kisah Kopi Kadiran...

Shaleh menceritakan, harga yang ditawarkan para tengkulak, dan ditentukan para kartel ini tidak sebanding dengan jerih payah para petani.

Para petani membutuhkan waktu empat tahun untuk menyemai, menanam, dan merawat hingga pohonnya berbuah.

Selama itu, mereka kepanasan, kehujanan, disengat binatang, bertemu ular dan babi di hutan, juga terpeleset, dan hidup dalam kemiskinan.

“(Kemiskinan) membuat baju petani compang-camping. Kalau masuk ke kafe, mereka bisa diusir."

"Padahal merekalah yang memproduksi kopi specialty di kafe-kafe mahal itu,” tutur Shaleh.

Pemilik Kopi Buhun Kadiran, Shaleh Raspan.KOMPAS.com/RENI SUSANTI Pemilik Kopi Buhun Kadiran, Shaleh Raspan.
Analoginya sama dengan seorang buruh bangunan yang ketinggalan palu di dalam hotel megah.

Saat buruh ini datang ke hotel untuk mengambil palu, ia diusir satpam. Padahal, buruh inilah yang membangun hotel itu.

Rasa sakit hati itu yang kemudian membuat Shaleh menghentikan penjualan kopi dengan harga murah.

Baca juga: Cara Minum Kopi Agar Lebih Sehat untuk Tubuh

Ia kemudian mendirikan Kopi Buhun Kadiran, yang berlokasi di Gunung Susuru, kebunnya.

Bersama sang anak, Taufik Rismawan (32), Kadiran masuk ke industri hilir kopi.

Berbekal modal patungan dari anak-anaknya, Shaleh memproduksi kopi original hingga berbagai produk inovasi seperti wine coffe, kopi teh, coklat kopi, dan lainnya.

Ia kemudian mengikuti program One Village One Product yang digagas Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Sebagai merek baru, Kadiran membuat orang tercengang ketika kopi ini meraih peringkat ketiga di Sumedang.

Hanya dalam satu tahun, nama Kadiran melesat. Beberapa kelompok warga asing pun sengaja datang ke saung Kadiran untuk menikmati kopinya secara langsung.

Bahkan kini, kopi Kadiran sudah tembus ke pasar Australia, Jerman, Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Pakistan, dan beberapa negara lainnya.

Baca juga: Manfaat Minum Kopi, Tidak Hanya Penahan Kantuk

Margin keuntungan

Taufik Rismawan mengatakan, margin keuntungan yang diperoleh saat ini dengan saat jual ke tengkulak sangat jauh, 10:1.

“Penghasilan satu kali panen sekarang, sama dengan 10 kali panen dulu (saat jual ke tengkulak),” ucap Taufik.

Keberhasilan Kadiran pun mengundang pemerintah setempat memberdayakan warganya dengan kopi. Salah satunya tawaran garapan 27 hektar tanah milik desa.

Baca juga: Menyeruput Bikin Rasa Kopi Lebih Nikmat, Apa Alasannya?

Rencananya, tanah tersebut akan ditanami bibit kopi dari Kadiran. Kemudian, warga desa setempat akan menggarapnya bersama untuk kemandirian ekonomi desa tersebut.

“Kami juga diundang untuk mengikuti pameran di Jerman akhir tahun ini,” tutur dia.

Saat ini, Shaleh memiliki satu mimpi besar, membuat kafe di perkebunan. Dia ingin menciptakan pasar dan mengundang para pecinta kopi datang ke tempatnya untuk menikmati kopi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com