Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Para Wanita Berambut 2 Meter, Hanya Potong Sekali Seumur Hidup

Kompas.com - 18/10/2019, 09:08 WIB
Glori K. Wadrianto

Editor

KOMPAS.com - Ketika banyak perempuan di dunia tak ambil pusing dengan 1-2 helai rambut yang rontok, sekelompok wanita di China justru berusaha keras menyelamatkan dan menyimpan tiap helai rambut mereka. 

Generasi perempuan tersebut terus melanjutkan praktik yang tidak biasa ini sebagai bagian dari tradisi Red Yao, di wilayah Longji Rice Terraces, di selatan China.

Komunitas Red Yao adalah cabang dari etnis minoritas Yao, salah satu dari 55 etnis minoritas yang diakui secara resmi di China, yang menetap di daerah pegunungan di barat daya dan selatan negeri itu.

Mereka yang memilih untuk berpegang pada tradisi itu membiarkan rambut mereka tumbuh (nyaris) tanpa dipangkas sepanjang hidup mereka.

Disebut "nyaris" karena ada satu kali tradisi untuk memotong rambut ketika mereka berusia 18 tahun.

Para wanita ini percaya semakin panjang rambut mereka, semakin panjang pula umur mereka di dunia.

Baca juga: 15 Tahun Tak Cukur, Reynaldo Pangkas Rambut Panjang demi Jadi Tentara

Jurufoto yang juga guru, Cameron Hack mempelajari tradisi ini ketika dia mengunjungi perkampungan tersebut saat melakukan peliputan untuk Humans of China.

Seperti dilansir laman UNILAD, Cameron mengaku bertemu dengan perempuan yang rambutnya mencapai panjang dua meter.

Setiap helai yang rontok ketika dicuci atau disisir, akan dipungut dan disimpan. Ritual ini mungkin terdengar melelahkan, tetapi justru menunjukkan betapa 'berharganya' rambut bagi mereka, yang patuh pada tradisi.

Cameron berbicara kepada seorang ibu (lihat foto di bawah) yang pada usia 61 tahun, memiliki rambut sepanjang 1,6 meter.

Menurut Cameron, perempuan ini terlihat sangat sehat, dan hampir tidak ada uban di kepalanya.

Tradisi dan kebiasaan sang ibu pun berlanjut kepada putri-putrinya yang kini juga memiliki rambut yang panjang.

.HUMANS OF CHINA .

Sesuai dengan tradisi, ibu tiga anak itu menjelaskan, dia hanya pernah memotong rambutnya satu kali seumur hidup, yakni ketika berusia 18 tahun.

Pemotongan itu merupakan bagian dari tradisi yang menandakan pencapaian usia dewasa.

Baca juga: Perawatan untuk Wujudkan Mimpi Punya Rambut Panjang

Dia menyebutkan, ritual potongan rambut tersebut dilakukannya tiga tahun setelah pernikahan, di mana memiliki rambut panjang merupakan hal penting bagi mereka.

"Waktu muda saya sangat cantik, dan menjadi sangat penting bagi saya untuk memiliki rambut panjang demi bisa menikahi dia," kata perempuan itu.

Rambut yang dipotong pun tak dibuang sia-sia. Lebih dari 40 tahun kemudian dia masih menyimpannya.

Potongan "rambut mati" itu dibungkus bersama dengan untaian rambutnya yang "masih hidup", dan dibungkus kain hitam yang juga menutupi kepalanya.

Berbicara tentang  rutinitas perawatan rambutnya, perempuan itu mengaku rambut sungguh menjadi bagian penting dalam hidupnya. Tak ada sehelai rambut rontok pun yang dibuangnya.

"Saya mencuci rambut setiap 2-3 hari sekali, dan saya menggunakan air dari sumur. Kami pergi bersama dan biasanya di malam hari."

"Dibutuhkan waktu sekitar setengah jam, dan kemudian setelah saya pulang, saya siap untuk tidur," tutur dia.

Baca juga: Ingin Rambut Panjang dan Sehat? Terapkan 4 Langkah Berikut...

"Rambut saya tentu masih basah saat itu, jadi saya mengalasinya dengan selembar plastik, dan meletakkan rambut 'mati' di atas lembaran itu agar tetap bersih."

"Lalu, saya tidur dan rambutnya akan mengering," kata dia.

Air cucian beras

Jika perempuan tadi mengaku mencuci rambut menggunakan air sumur, ada sekelompok lainnya yang mengaku membasuh rambut mereka dengan air bekas cucian beras.

Salah satu wanita yang terus melakukan kebiasaan itu meyakini air cucian beras membuat tetap berkilau dan sehat.

Sementara, ada pula wanita 50 tahun lainnya (gambar di bawah) yang telah memilih untuk beralih ke shampo.

.HUMANS OF CHINA .

"Rambut yang tumbuh di kepalaku sekarang sudah sampai ke pergelangan kakiku," kata perempuan 50 tahun itu.

"Air cucian beras membuat rambut kami terlihat sangat bersih dan berkilau, tapi sekarang saya menggunakan sampo," sambung dia.

Sebelumnya, setelah mencuci rambut, aku akan meletakkannya di lantai di bawah sinar matahari untuk mengeringkan."

Baca juga: Berakhir Sudah Tren Rambut Panjang

"Tetapi sekarang aku sudah mampu membeli pengering rambut. Jadi, aku mencuci rambut setiap 2-3 hari, dan butuh sekitar satu setengah jam atau lebih."

Sama halnya dengan perempuan-perempuan lain di komunitas itu, setiap rambut yang rontok akan disimpan.

Seorang wanita berusia 90 tahun (gambar di bawah) menjelaskan, meskipun rambutnya sangat panjang dan sangat indah ketika dia masih muda, kini hanya tersisa sedikit di masa tuanya.

.HUMANS OF CHINA .

Di sisi lain, putrinya pun sudah memilih untuk tidak mengikuti tradisi itu lagi.

Nenek 90 tahun ini mengaku, panjang rambutnya pernah sampai menyapu lantai.

Demikian pula, seorang wanita Yao berusia 83 tahun yang merasa kini rambutnya menjadi lebih pendek dari yang pernah ada, karena kerontokan.

Kendati demikian, kedua perempuan sepuh itu tetap teguh menyimpan potongan-potongan rambut yang rontok.

Perempuan 83 tahun itu juga berujar, suaminya memandang rambut panjang sebagai hal yang sangat indah.

Hingga, perempuan ini merasa, mungkin suaminya itu tak akan menikahinya jika berambut pendek. 

.HUMANS OF CHINA .

Ya, meskipun terlihat para wanita tersebut memiliki pendekatan yang berbeda terhadap tradisi, namun dalam hal rambut dan menularkannya kepada keturunannya bermuara pada cara yang sama.

Baca juga: Rambut Panjang, Didamba Perempuan Disukai Pria

Alih-alih dikremasi ketika mereka meninggal, para wanita ini biasa dikuburkan dengan semua rambut yang tumbuh di sepanjang hidup mereka. 

Lalu, seorang wanita yang membuka rumahnya untuk obyek wisata, demi memperkenalkan tradisi ini kepada masyarakat luas, mengungkapkan pandangannya.

"Saya tinggal di salah satu rumah tertua di desa ini. Umurnya sekitar 50 tahun. Kami berlima tinggal di sini."

"Rumah itu terbuat dari kayu, dan dilengkapi dengan lahan berpenyangga, karena kami hidup di tepian sungai." kata dia.

Rumah itu penuh dengan barang-barang lama, dan kini perempuan itu membukanya untuk dilihat orang.

"Saya tidak ingin uang tetapi saya menjual beberapa suvenir dan saya senang ketika orang membelinya," ungkap dia.

Sementara beberapa wanita sudah mulai belajar kata-kata dalam bahasa Inggris untuk berbicara dengan turis, sebagian besar kaum minoritas ini tetap bertahan dengan cara tradisional mereka.

"Tapi, saya benar-benar percaya bahwa siapa pun yang akan ditemui di sini akan memperlakukan pendatang dengan baik. Dan kaum minoritas Yao, adalah orang-orang jujur dan sejati," ungkap dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com