Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wabah Virus Corona Bukan Alasan untuk Bersikap Rasis

Kompas.com - 06/02/2020, 17:49 WIB
Gading Perkasa,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

Sumber The Verge

 

Dong, mahasiswa di University of California, mengatakan kata-kata dan image itu merusak identitas dan perasaan kesejahteraannya.

"Orang mengatakan 'menjauhlah dari teman-teman Asia Anda' atau 'menjauh dari siswa internasional' benar-benar mengecewakan untuk dilihat."

Ia menyebut, unggahan ini adalah pengingat, di mana sebagai orang Asia-Amerika, ia merupakan "orang asing" di negara tempatnya dilahirkan dan dibesarkan.

Orang-orang China di Asia dan orang Asia di seluruh dunia mengatakan, mereka telah dicurigai sejak virus corona menjadi berita utama internasional.

Erin Wen Ai Chew, pengusaha berusia 37 tahun keturunan China, menceritakan pengalamannya baru-baru ini di Australia.

Chew mengatakan, seorang wanita kulit putih memandangi setiap orang Asia yang lewat, terutama mereka yang memakai masker wajah, seolah mencari tanda penyakit.

Dengan sengaja, Chew batuk di dekat wanita itu hingga sang wanita lari ketakutan.

"Kami sudah mengira hal seperti ini akan terjadi," kata Chew.

"Kita tahu, orang-orang melihat rambut hitam dan kulit 'kuning' dan menargetkan kita."

"Ada banyak kemarahan, kebencian, dan ketakutan untuk mengetahui, ketika kita pergi, kita bisa menjadi sasaran rasisme."

Baca juga: 7 Wabah Virus yang Pernah Mengguncang Dunia Selain Corona

Meski sedikit bukti ilmiah yang menyebut membatasi perjalanan akan menghentikan penyebaran virus, Presiden Amerika, Donald Trump, tetap memberikan larangan.

Trump melarang warga negara asing yang telah pergi ke China dalam 14 hari terakhir untuk kembali ke Amerika Serikat.

Hal ini bertentangan dengan pedoman WHO, yang mencegah larangan bepergian dan berdagang, karena dapat menyulitkan suatu negara untuk merespons virus corona.

Sebelumnya, pada 2002, virus berbeda muncul di provinsi Guangdong, China. Virus SARS menewaskan hampir 800 orang di seluruh dunia.

Pejabat kesehatan masyarakat masih belum yakin bagaimana virus itu muncul, kata Katherine Mason, antropolog medis di Brown University.

Namun, para ahli berteori, penyakit zoonosis (dibawa oleh hewan) berpindah dari kelelawar ke hewan lain seperti luwak, yang dijadikan makanan di China bagian selatan, kemudian menjangkit manusia.

SARS membuat template untuk ketakutan yang berujung pada tindakan rasis di wabah berikutnya.

Baca juga: Bayi di Wuhan Ini Positif Terinfeksi Virus Corona 30 Jam Setelah Dilahirkan

Banyak unggahan virus corona yang menyinggung telah dihubungkan dengan selera orang Cina yang gemar mengonsumsi kelelawar, yang mana itu berbahaya, dan sesuatu yang tidak dimakan orang di "dunia normal."

Unggahan lain menyatakan, virus itu berasal dari pasar basah yang kotor, meski ada spekulasi bahwa virus corona dapat muncul dari tempat lain.

Roger Keil, profesor di departemen studi lingkungan di York University mengatakan, hanya beberapa wabah yang dijadikan sarana rasis.

Penyakit yang berasal dari China, seperti SARS dan virus corona, atau penyakit Ebola di Afrika, berkorelasi secara konsisten dengan xenophobia.

"Dengan virus baru ini, sesuatu yang dipicu akan selalu ada di sana, yang merupakan ketakutan dan gagasan bahwa hal buruk datang dari tempat lain," kata Keil.

Untuk memerangi rasisme, orang-orang di mata publik, termasuk pejabat politik dan media, harus mulai memisahkan penyakit dari titik asalnya, menurut Keil.

Dalam situasi seperti sekarang, Keil berkata, "ada dua hal yang perlu diingat setiap pagi ketika kita bangun. Cuci tangan dan jangan menjadi rasis."

Baca juga: Imbas Virus Corona, Tak Hanya Nike, Adidas Pun Tutup Toko di China

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com