Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Ada Keinginan "Stalking" Mantan Setelah Putus

Kompas.com, 12 Agustus 2020, 11:10 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com – Ketika hubungan kandas tentu rasa sedih mendominasi dan setiap orang berusaha untuk move on. Namun sebagian orang, terutama pihak yang “diputusin”, tak bisa menahan keinginan untuk ingin tahu tentang mantan kekasihnya. Kegiatan ini disebut juga dengan stalking (menguntit).

Di era digital ini, kegiatan stalking biasanya dilakukan lewat akun media sosial si mantan. Rasanya sulit menahan godaan untuk mengetahui apakah si mantan sudah baik-baik saja hidupnya atau mungkin punya pacar baru.

Padahal, kegiatan menguntit mantan ini hanya memperpanjang rasa sakit hati dan stres setelah putus cinta.

Menurut pakar psikologi Theresa E Didonato, stalking bisa diartikan sebagai perasaan ingin mengejar terus menerus yang tidak diinginkan, baik secara virtual atau secara langsung, di mana pelakunya selalu memikirkan si korban.

Baca juga: 5 Efek Buruk Sering Stalking Mantan Pacar di Media Sosial

Pada umumnya korban mengenal orang yang jadi penguntit. Kegiatan menguntit ini bisa menimbulkan rasa takut dan menguras emosi korban. Bagaimana tidak, si penguntit terkadang menuliskan komentar atau status marah dan menjelek-jelekkan.

Tak jarang, ada yang mengancam akan menyebarkan foto atau video yang bisa mempermalukan korban.

Perasaan terhubung

Mengapa seseorang jadi penguntit, menurut Didonato, hal ini dipicu oleh kebutuhan akan keterikatan, perasaan untuk terhubung dan memiliki.

“Kebutuhan akan relasi ini biasanya dipenuhi oleh pasangan kita, sehingga ketika hubungan putus perasaan akan keterikatan itu hilang,” katanya.

Pihak yang diputus cinta dan menjadi penguntit juga kerap merasa dirinya sebagai korban atau dipermainkan. Rasa takut akan diabaikan itu membuat mereka tidak bisa berpikir jernih.

Baca juga: Kembali ke Pelukan Mantan Kekasih, karena Cinta atau Takut Sendirian?

Orang yang jadi penguntit juga biasanya punya sifat obsesif dalam hidupnya, termasuk hubungan asmaranya. Mereka juga tergolong orang yang narsis dan tidak bisa menghargai perasaan atau batasan dari orang lain.

Memang hal itu tidak bisa dipakai untuk membenarkan tindakan stalking. Namun, orang yang memiliki perasaan serupa, menurut Didonato, bisa mengalihkan diri dari perangkap emosional ini secara sehat.

Penting untuk mengingat bahwa penguntit bukanlah monster yang bersembunyi dalam gelap. Faktanya, tidak ada kriteria khusus untuk mengenali apakah seseorang berpotensi menjadi penguntit atau tidak.

Salah satu kesalahan umum tentang penguntit adalah mereka bukan orang yang kesepian, atau tak bisa bergaul. Para ahli menemukan bahwa penguntit rata-rata justru orang yang ramah dan menarik, sehingga orang tak mengira ia punya obsesi tidak sehat dengan mantannya.

Baca juga: Tahukah Kamu, Ini Cara Terburuk Putus dengan Kekasih

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau