KOMPAS.com – Ketika hubungan kandas tentu rasa sedih mendominasi dan setiap orang berusaha untuk move on. Namun sebagian orang, terutama pihak yang “diputusin”, tak bisa menahan keinginan untuk ingin tahu tentang mantan kekasihnya. Kegiatan ini disebut juga dengan stalking (menguntit).
Di era digital ini, kegiatan stalking biasanya dilakukan lewat akun media sosial si mantan. Rasanya sulit menahan godaan untuk mengetahui apakah si mantan sudah baik-baik saja hidupnya atau mungkin punya pacar baru.
Padahal, kegiatan menguntit mantan ini hanya memperpanjang rasa sakit hati dan stres setelah putus cinta.
Menurut pakar psikologi Theresa E Didonato, stalking bisa diartikan sebagai perasaan ingin mengejar terus menerus yang tidak diinginkan, baik secara virtual atau secara langsung, di mana pelakunya selalu memikirkan si korban.
Baca juga: 5 Efek Buruk Sering Stalking Mantan Pacar di Media Sosial
Pada umumnya korban mengenal orang yang jadi penguntit. Kegiatan menguntit ini bisa menimbulkan rasa takut dan menguras emosi korban. Bagaimana tidak, si penguntit terkadang menuliskan komentar atau status marah dan menjelek-jelekkan.
Tak jarang, ada yang mengancam akan menyebarkan foto atau video yang bisa mempermalukan korban.
Perasaan terhubung
Mengapa seseorang jadi penguntit, menurut Didonato, hal ini dipicu oleh kebutuhan akan keterikatan, perasaan untuk terhubung dan memiliki.
“Kebutuhan akan relasi ini biasanya dipenuhi oleh pasangan kita, sehingga ketika hubungan putus perasaan akan keterikatan itu hilang,” katanya.
Pihak yang diputus cinta dan menjadi penguntit juga kerap merasa dirinya sebagai korban atau dipermainkan. Rasa takut akan diabaikan itu membuat mereka tidak bisa berpikir jernih.
Baca juga: Kembali ke Pelukan Mantan Kekasih, karena Cinta atau Takut Sendirian?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.