KOMPAS.com - Indra Darmawan ingat betul bagaimana krisis moneter yang menghantam Indonesia pada 1998 lalu, memengaruhi kehidupannya.
Saat itu, Indra baru lulus dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung.
Mencari pekerjaan bukan hal mudah saat itu. Apalagi rumah Indra yang berada di Kabupaten Bandung Barat jauh dari kota.
Balasan surat lamaran Indra yang dikirim via pos, baru sampai 2-3 bulan kemudian. Bisa jadi, saat surat balasan sampai di tangan Indra, lowongan tersebut sudah terisi.
Baca juga: Kerajinan Tangan Indonesia Sulit Bersaing di Pentas Dunia, Kenapa?
Di sisi lain, Indra melihat kerusakan lingkungan di daerahnya yang berada di aliran Sungai Citarum.
Apalagi, setelah sungai itu dibendung menjadi Waduk Saguling. Masalah sampah, eceng gondok, hingga perubahan struktur masyarakat terjadi di sana.
Jika awalnya warga di sana bertani di lahan sendiri, mereka lalu menjual lahan, dan menjadi transmigran.
Begitu pulang ke kampung halaman, mereka cuma menjadi buruh tani, karena lahannya sudah habis dijual.
"Bahkan, ada yang akhirnya menjadi tukang becak," kenang lelaki berusia 48 tahun itu.
Pergolakan batin pun terjadi. Indra bertanya pada diri sendiri bagaimana tanggung jawabnya pada lingkungan sekitar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.