Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/07/2021, 11:17 WIB
Intan Pitaloka,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sunat merupakan tradisi yang memang tidak asing lagi di beberapa negara, terutama di Indonesia, dimana bagian kulup, kulit yang menutupi bagian kepala penis dibuang.

Di Amerika Serikat, sunat pernah dianggap sebagai prosedur standar untuk bayi laki-laki. Menurut World Health Organization (WHO) sekitar 75% pria di Amerika Serikat telah disunat.

Kimberly Jackson, LCSW, seorang terapis seks mengungkapkan alasan mengapa orangtua memutuskan anaknya disunat, yakni karena keyakinan agama, mitos umum tentang kebersihan, alasan budaya atau sosial, seperti keinginan agar anak mereka menyerupai ayahnya.

Banyak dokter juga percaya sunat mengurangi risiko infeksi menular seksual (IMS) dan infeksi saluran kemih (ISK), yang jika tidak diobati, dapat menyebabkan infeksi ginjal.

“Manfaat kesehatan yang disebutkan termasuk penurunan risiko IMS, terutama HIV dan HPV, kanker penis, paraphimosis (kondisi kulup tidak dapat ditarik hingga ke kepala penis, yang dapat memotong suplai darah ke ujung penis), dan balanitis, atau infeksi kelenjar,"

Demikian penjelasan dari Aleece Fosnight, MSPAS, PA-C, CSC, CSE, konselor kesehatan seksual.

Baca juga: Mengapa Sunat Bakal Dilarang di Islandia, Apa yang Salah?

Apakah manfaat sunat itu benar?

Sampai tingkat tertentu, konsensus dalam komunitas medis masih menunjukkan bahwa sunat berpotensi mengurangi risiko ISK dan IMS tertentu.

Tahun 2012, American Academy of Pediatrics mengeluarkan pernyataan bahwa terlepas dari potensi komplikasi sunat yang jarang terjadi seperti pendarahan, infeksi, dan nekrosis penis, manfaat kesehatan sunat lebih besar daripada risikonya.

Tetapi selama bertahun-tahun, penelitian yang muncul kemudian mempertanyakan beberapa manfaat sunat yang selama ini dipercaya.

Misalnya, soal penelitian terhadap pria Afrika yang menyebutkan bahwa sunat dapat mengurangi risiko penularan HIV sebanyak 60 persen.

"Desain penelitian ini secara inheren cacat, peneliti hanya memeriksa perilaku kesehatan pria heteroseksual, dan hasilnya tidak dapat digeneralisasikan di seluruh budaya," kata Jackson.

Itu sebabnya semakin banyak orangtua memilih untuk tidak melakukan prosedur ini. Jumlah bayi yang disunat turun dari 84 persen pada tahun 1960-an menjadi 77 persen pada tahun 2010.

Selain itu, beberapa dokter juga menolak untuk melakukan prosedur tersebut.

“Saya tidak pernah melakukan sunat sejak tahun 1994,” kata Steven Dorfman, MD, seorang dokter anak di Kaiser Permanente di San Francisco.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com