Oleh: Intania Ayumirza dan Sulyana Andikko
DALAM sebuah perjuangan untuk meraih sesuatu, tidak jarang kita merasakan yang namanya kegagalan. Umumnya, setiap orang memiliki persepsi tersendiri terkait kegagalan.
Layaknya menilai benar atau salah, mendefinisikan kegagalan tersendiri adalah hal sulit karena sifatnya yang relatif atau tidak eksak.
Kendati mengalami nasib yang sama, beda orang dapat memberikan respons dan persepsi yang berbeda pula. Pola pikir (mindset) akan menjadi hal yang sangat menentukan.
Sebagian orang akan melabelinya sebagai kegagalan, namun sebagian lainnya mungkin tidak.
Ada yang menyikapinya dengan putus asa; menerima lalu memutuskan untuk bertahan; mengambil pelajaran; atau justru segera melangkah meninggalkan kekecewaan dan bersiap dengan rencana cadangannya.
Sikap-sikap tersebut memiliki kaitan dengan resiliensi, sebuah kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan, frustasi, dan kemalangan, sesuai definisi yang diusung oleh Janet Ledesma, peneliti dari Andrews University Amerika Serikat.
Menjadi resilien tidak sebatas menerima dan bertahan dengan keadaan tersebut, melainkan juga mendorong diri untuk meninggalkan keterpurukan.
Seseorang dengan tingkat resiliensi yang baik akan mampu melihat kegagalan sebagai pelajaran untuk menjadikan dirinya lebih baik di masa depan.
Berbincang dalam episode kedua di musim ketiga siniar OBSESIF, Irma Erinda, seorang Purpose Coach yang juga merupakan Founder Purpose Finder, membahas mengenai konsep lingkaran kontrol dan lingkaran perhatian berdasarkan buku klasik berjudul The Seven Habits of Highly Effective People karya Stephen Covey.
Ia memperkenalkan istilah lingkaran kontrol (circle of control), yang meliputi hal-hal yang berada di bawah kendali seseorang; seperti pola pikir, tindakan, cara berinteraksi, serta hal-hal lain yang dapat dikontrol secara langsung oleh dirinya.
Di luar itu, ada pula lingkaran perhatian (circle of concern), yang meliputi hal-hal yang berdampak pada kehidupan seseorang, tetapi tidak dapat dikendalikannya, seperti pandangan orang lain, hasil ujian, respon orang lain terhadap suatu hal, budaya yang telah mengakar, kebijakan pemerintah, maupun momen pandemi seperti saat ini.
Setiap orang dihadapkan pada dua pilihan: memperbesar wilayah lingkaran kontrol atau lingkaran perhatiannya. Sebab, cara kita memandang kedua lingkaran ini akan memengaruhi perspektif kita terhadap banyak hal, termasuk ketika menghadapi kegagalan.
"Yang kita inginkan, apa yang disebut orang adalah the feeling of being empowered (perasaan berdaya). Kalo kita ngomong kita ini adalah manusia yang berdaya, itu adalah pada saat kita berusaha untuk memperbesar our circle of control (lingkaran kontrol kita), sehingga our circle of concern (lingkaran perhatian kita) itu semakin kecil," ujar Irma.
"Karena, pada saat circle of concern kita semakin kecil, circle of control kita semakin besar, maka kita merasa bahwa kita berdaya dan bisa mengendalikan kita sendiri," tambahnya.