KOMPAS.com – Siapa yang hobi menantikan tanggal-tanggal cantik kembar setiap bulannya, seperti tanggal 11.11 ini misalnya?
Ya, tak sedikit masyarakat Indonesia yang rela menyisakan uang gaji mereka untuk berbelanja di tanggal-tanggal cantik setiap bulannya.
Sebab, biasanya di tanggal-tanggal kembar seperti itu, berbagai marketplace dan toko daring memberi promo dan diskon besar-besaran nan menggiurkan.
Sayangnya, terkadang diskon-diskon ini malah membuat kita kalap dan semakin boros, bukannya bertambah hemat.
Jika sudah begini, perlu waspada, jangan sampai kita terkena gangguan kontrol impuls dan kecanduan perilaku, yang mungkin berkaitan dengan gangguan obsesif kompulsif (OCD).
Biasanya, mereka yang mengalami gangguan yang disebut compulsive buying disorder ini tak mampu menahan diri untuk membeli barang meski paham konsekuensi negatifnya.
Berikut karakteristik dari compulsive shopping disorder:
Untuk dikategorikan sebagai compulsive buying disorder, perilaku belanja kompulsif yang terjadi tidak bisa diasosiasikan dengan kondisi kesehatan mental lainnya seperti hypomania atau mania dengan bipolar disorder.
Sayangnya, compulsive shopping rupanya sulit didiagnosa, karena tidak terdaftar di Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5).
Sudah terbukti cukup banyak orang yang melakukan belanja kompulsif sebagai mekanisme koping untuk menutupi emosi sulit seperti stres, kecemasan, dan self-esteem rendah.
Padahal, berbelanja hanya memberikan kelegaan sementara. Pada akhirnya, ketidakmampuan mereka untuk mengontrol nafsu belanja akan membuat mereka merasa sangat bersalah dan malu.
Baca juga: 3 Tips agar Belanja jadi Self-Care demi Jaga Kesehatan Mental
Saat ada acara spesial seperti ulang tahun, terkadang kita belanja berlebih. Namun, rupanya belanja berlebih seperti ini bukan berarti kita adalah seorang compulsive shopper.
Compulsive shopping sendiri tidak ada kaitannya dengan berapa banyak uang yang kita keluarkan. Sebaliknya, compulsive shopping lebih berkaitan dengan tingkat keasyikan, kesusahan pribadi, dan perkembangan konsekuensi yang merugikan.
Lebih dari 1 di antara 20 orang dewasa AS (sekitar 6 persen) rupanya memiliki dorongan belanja, dan dimulai pada usia akhir remaja atau awal 20-an,dan jarang dimulai setelah usia 30,5.
Rentang usia ini cocok dengan saat seseorang mendapat pekerjaan dan pindah dari rumah lalu membuka rekening kredit pertama mereka.