KOMPAS.com - Nunung menuai simpati publik setelah pengakuan harus membiayai 50 anggota keluarganya.
Komedian jebolan Srimulat itu harus menanggung kebutuhan ekonomi keluarga besarnya termasuk anak-anak, saudara dan keponakan.
Meski kerap merasa stres, lelah sekaligus sedih, ia juga masih mencemaskan nasib keluarganya yang belum mapan jika ia tiada.
Baca juga: Tips Psikolog agar Kesehatan Mental Sandwich Generation Tetap Terjaga
Perjuangan Nunung sontak langsung jadi perhatian netizen, yang menyebutnya sebagai kasus ekstrem sandwich generation.
Ada yang beranggapan, hal ini pula yang memicu kanker payudara yang diderita pelawak wanita ini.
Sandwich generation adalah istilah untuk orang yang harus bekerja di usia produktif tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri namun orang lain.
Digunakan istilah sandwich karena golongan tersebut terjebak di antara kebutuhan ekonomi antargenerasi keluarganya seperti anak, orangtua, hingga mertua.
Baca juga: Memutus Rantai Sandwich Generation, Awali dengan Relasi yang Sehat
Psikolog keluarga, Lucia Peppy Novianti, M. Psi mengatakan kondisi sandwich generation memang tidak mudah dihadapi.
"Untuk merespon situasi ini, langkah penting utama adalah menakar diri dalam konteks ini," jelasnya, kepada Kompas.com.
Menurutnya, kita, yang menjadi sandwich generation, perlu mengenali situasi sesungguhnya termasuk tuntutan apa saja yang dibebankan.
"Dan hal penting pula dalam melakukan ini adalah sikap jujur pada diri sendiri. Pisahkan antara pendapat atau perasaan terkait orang-orang yang ada dalam bahasan sandwich generation," pesan Lucia.
"Karena ini akan membuat kita sulit melihat secara adil dan objektif."
Baca juga: Khawatir Terjebak Jadi Sandwich Generation, Berikut 3 Kiat Menghindarinya
Setelah melihat daya, kemampuan, dan situasi diri atau persoalan, lakukan langkah yang paling bisa diupayakan untuk terpisah dari situasi yang tidak sehat ini.
"Yakini bahwa langkah untuk berjarak dan mengelola situasi ini bukan karena bersikap jahat namun justru karena berniat baik untuk semua," ujar Lucia lagi.
Ada kalanya, kita merasa begitu terbebani sebagai sandwich generation sehingga ingin memutuskan hubungan dengan keluarga.
Hal ini, menurut Lucia, boleh saja dilakukan jika bertujuan untuk menjaga kesejahteraan psikologis kita.
"Hanya saja sering kali keputusan tersebut juga tidak langsung membawa pada perubahan baik, seperti tidak langsung berkorelasi dengan rasa lega atau sejahtera secara psikologis," urainya.
Misalnya justru memicu rasa bersalah yang membuat sedih berkepanjangan.
Bila masih mudah merasa bersalah dengan memutus hubungan tersebut, maka perlu adanya pihak-pihak yang menguatkan di awal proses memutus, seperti pasangan atau sahabat.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah menjaga jarak secara bertahap seperti mengurangi intensitas waktu memberi bantuan maupun mengurangi kuantitas bantuan.
"Dengan proses pengurangan gradual ini diharapkan dapat sekaligus menyiapkan kondisi mental baik pada kita maupun keluarga," ujar Lucia, yang merupakan founder Wiloka Workshop.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah menyampaikan batasan yang sedang kita lakukan.
Tindakan ini mungkin bisa memicu konflik namun setidaknya bisa memberikan manfaat untuk diri kita sendiri.
Penting juga mempersiapkan diri bagaimana kita akan menghadapi konsekuensi atas pemutusan hubungan maupun bantuan finansial yang biasa diberikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.