Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Willy Ramadan
Dosen

Saya adalah orang yang selalu tertarik dengan kajian-kajian dan diskusi-diskusi tentang pendidikan. Dengan Penelitian, Pengajaran dan Pengabdian, khususnya dalam bidang pendidikan, akan menjadi unsur-unsur penting dalam melakukan penguatakan kualitas pendidikan di Indonesia dan dunia.

Jebakan Persona Dunia Maya dan Kesehatan Mental

Kompas.com - 05/04/2023, 14:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERNAH sesekali, saya iseng membuka dan membaca kembali status-status di laman Facebook yang pernah saya tulis dulu kisaran tahun 2006-2007, saat awal baru memiliki akun media tersebut. Saya cermati isi tulisan-tulisan tersebut, ada kegelian dan kelucuan di dalamnya.

Saya mengira, bisa jadi, saya bukan satu-satunya yang punya pengalaman itu. Di mana kita sering geli dan ketawa sendiri dengan apa yang pernah kita tulis saat kecil atau remaja, baik pada media sosial atau yang paling konvensional pada sebuah diary/catatan harian.

Kondisi ini adalah indikasi bahwa bukan hanya fisik dan kognitif yang berkembang dan bertumbuh, namun juga mental.

Mental kita saat ini mampu menilai, bahwa apa yang kita lakukan, jalani dan alami dulu, melalui cara kita menulis dan mengekspresikan kondisi saat itu, adalah bagaimana gambaran mental kita saat itu, penuh dengan drama kekanak-kanakan.

Meskipun begitu, itulah pengalaman berharga, karena mental sangat erat kaitannya dengan pengalaman.

Mental yang sehat selalu diidentikkan dengan pikiran positif, merasa tentram, tenang, teduh, dan penuh dengan aura dan energi positif.

Namun belakangan, mental health atau kesehatan mental menjadi isu yang ramai didiskusikan.

Banyak orang memberikan warning, pentingnya memperhatikan kesehatan mental, lebih-lebih dengan perwujudan distrupsi teknologi yang secara masif dan sporadis.

Selain faktor lingkungan, seperti lingkungan keluarga, sekolah atau lingkungan kerja, dan juga pola hidup, kehadiran teknologi, khususnya media sosial, dianggap juga memberi dampak besar terhadap kesehatan mental.

Namun, benarkan teknologi memiliki andil dalam memberikan dampak negatif?

Jebakan persona dunia maya

Elizabeth Kristi Poerwandari (2021) dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi UI dengan sangat yakin menyampaikan bahwa teknologi terbukti bisa memengaruhi kesehatan mental, begitu kesimpulannya.

Bagaimana tidak, teknologi menjanjikan individu-individu untuk menciptakan realitas baru, yang dia tidak miliki di dalam dunia nyata.

Media sosial, misalnya, memberikan tempat bagi orang yang terobsesi untuk terlihat sempurna, yang biasanya terpicu karena pembandingan-perbandingan sosial.

Sehingga, pengguna seringkali berburu like, komentar dari pengikut hingga mengejar status verified, yang kadang kebahagian dan kesedihan identik dengan banyak tidaknya atau positif tidaknya respons tersebut.

Carl Gustav Jung, seorang tokoh psikologi, menyebut fenomena ini dengan sebutan persona atau topeng.

Sebenarnya, individu tersebut adalah manusia yang sedang berupaya mewujudkan dirinya dengan persona baru, padahal persona yang dia gunakan bisa jadi jauh berbeda dengan dunia nyata.

Pada akhirnya orang tersebut akan berupaya sebisa mungkin menampilkan di dunia nyata sebagaimana persona di dunia maya, bahkan kadangkala individu ini sendiri terkecoh dengan persona yang dia tampilkan.

Kita sering mengira dan selalu memisahkan antara dunia maya dan dunia nyata, semacam membandingankan antara online dan offline.

Padahal sebenarnya dunia maya adalah dunia nyata dengan model yang berbeda, berada dalam satu realitas yang sama.

Hanya saja perbedaannya, dunia maya memiliki intensitas suara, gambar, text, atau visual tanpa adanya perjumpaan fisik secara langsung sebagaimana dunia nyata.

Perilaku ini tentu sangat memengaruhi pada mental seseorang, karena individu akan sebisa mungkin menampilkan persona fiktifnya ke sosial, dan tentu akan memicu tindakan-tindakan yang berisi dengan ketidaktenangan atau kekhawatiran, seperti kekhawatiran topengnya akan terungkap dan diketahui publik.

Selanjutnya, jika topengnya terungkap, dapat bisa dipastikan akan menimbulkan sikap terasing atau terisolir dari sosial, dan biasanya akan berlanjut kepada perilaku-perilaku bullying di media sosial.

Sehingga pada akhirnya, individu tidak lagi memiliki tempat yang nyaman, baik nyata maupun maya. Fatalnya, ini bisa berujung pada tindakan-tindakan penyimpangan, seperti stres hingga bunuh diri.

Namun, meski memberi andil dalam memicu dampak negatif, tapi kehadiran teknologi pada dasar diciptakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan banyak hal, seperti bertransaksi dan berinteraksi.

Sehingga, teknologi tidak selayaknya menjadi kambing hitam, namun justru kedewasan manusia dalam berteknologi yang patut menjadi perhatian kita.

Gratitude dan Self-Love

“Berhenti mengukur diri dengan ukuran orang lain, berhenti menimbang diri dengan timbangan orang lain”.

Itulah nasihat yang sering kali disampaikan agar kita berhenti membanding-bandingkan kondisi kita dengan orang lain.

Perbandingan-perbanding sosial, terlalu terobsesi untuk memenuhi pandangan publik dan harapan sosial, seringkali menjadi racun yang perlahan membuat kita menjadi manusia yang terus merasa selalu berada pada kondisi kekurangan, dan melahirkan ketidakpuasan dengan apa yang sudah dimiliki.

Sehingga, menjadi manusia yang beragama adalah salah satu cara agar mental tetap terus terpelihara dan terjaga kesehatannya.

Sama halnya dengan cara menjaga kesehatan fisik, selain menjaga kualitas makanan yang masuk ke dalam tubuh, seseorang juga harus membiasakan diri untuk rajin berolahraga.

Begitu juga halnya dengan mental, selain memastikan semua kualitas informasi yang masuk kedalam akal pikir, kita juga perlu untuk terus menjaga mental selalu dalam kondisi positif.

Di antaranya adalah dengan bersyukur (gratitude) dengan apa yang dimiliki, dan tidak membandingkan pencapaian diri dengan orang lain atau menerima dan mencintai diri sendiri (self-love).

Di akhir tulisan ini, harapannya semoga kita mampu dan terus berusaha menjadi manusia yang bersyukur, tentu dengan terus meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidup, sembari tidak lupa berdoa kepada Tuhan.

Selain itu, banyak hal yang mampu kita lakukan, bahkan dari hal-hal yang kecil dan sepele, seperti menikmati waktu santai dengan melakukan hobi atau seperti yang saya lakukan, kembali membuka kembali catatan harian ketika kita kecil, lalu resapilah hal-hal positif yang sudah kita alami selama ini.

Hal kecil ini bisa membuat kita merasakan penuh kesyukuran bahwa kita bisa sudah sebesar ini, sedewasa ini.

Banyak keindahan dan keberkahan yang sudah Tuhan berikan dalam hidup, hingga kita masih berdiri kokoh sampai saat ini. Maka bersyukurlah agar kita terus bahagia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com