Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/07/2023, 08:26 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com - Kualitas kesehatan mental anak dan remaja saat ini dianggap mengalami penurunan. Banyak anak yang mengaku dirinya tidak bahagia, depresi, bahkan punya keinginan bunuh diri.

Menurut data di Amerika Serikat, jumlah anak sekolah yang melaporkan "selalu mengalami perasaan sedih dan putus asa" naik 40 persen dalam 10 tahun terakhir. Jumlah remaja yang mengaku ingin bunuh diri juga meningkat.

Di media sosial kita juga sering mendapati curhatan remaja yang merasa tertekan dan merasa dirinya tak bahagia.

Sebenarnya apa yang memicu perasaan tidak bahagia anak dan remaja di era saat ini? Ada banyak faktor yang berperan, termasuk sikap orangtua atau keluarga.

Hasil analisis berbagai data penelitian tentang kesehatan mental remaja menunjukkan kaitan yang kuat antara penggunaan media sosial dan kesehatan mental, terutama pada remaja putri.

Baca juga: Oversharing di Media Sosial, Apa Dampaknya?

Di masyarakat juga tumbuh budaya yang tak henti-hentinya untuk menekan anak agar sukses di usia muda dan mencapai keberhasilan dalam setiap usaha mereka. Pencapaian itu diharapkan bisa membantu anak kelak menuju kekayaan dan kehidupan yang bebas kekhawatiran.

Tak harus selalu bahagia

Psikolog anak dari Ohio, AS, Ariana Hoet, menyebut, ancaman terbesar terhadap kebahagiaan anak-anak saat ini, salah satunya pengejaran tanpa henti dari orang tua terhadap kebahagiaan anak-anak mereka — dan bagaimana hal itu dapat menjadi kontraproduktif bagi dalam jangka panjang.

"Banyak orang dewasa menganggap anak-anak seharusnya selalu bahagia karena tak punya kekhawatiran. Hal ini keliru karena bisa menghilangkan kesempatan mereka untuk belajar mengatasi seluruh spektrum emosi manusia dengan cara yang sehat," katanya.

Alih-alih membuat anak harus bahagia sepanjang waktu, kita seharusnya membantu mereka mengenali berbagai emosi yang dirasakan dan cara menghadapinya.

"Mengajarkan anak menghadapi stres dan emosi yang keras akan membantu mereka punya daya lenting (resilience) dan tangguh menghadapi tantangan yang lebih berat di masa depan," kata psikolog anak dari Universitas Columbia, Jennifer Cruz.

Baca juga: Pentingnya Self Love bagi Remaja

Jangan fokus pada prestasi

Dengan terlalu fokus pada prestasi anak-anak kita dan memuji kesuksesan mereka, beresiko membuat mereka tidak sadar bahwa kita mencintai dan menghargai mereka tanpa syarat.

"Banyak anak-anak di era sekarang yang menganggap dirinya berharga jika punya prestasi akademik yang tinggi, termasuk juga jumlah orang yang menyukai postingan mereka di media sosial," kata penulis buku parenting Jennifer Wallace.

Sebagai orangtua tentu kita tak bermaksud membuat anak merasa tidak dicintai, namun tanpa sadar kita menuntut anak, mendaftarkannya di berbagai les dan lomba, atau membandingkannya dengan saudara atau anak lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com