Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bonar Hutapea
Dosen

Dosen, Peneliti, Asesor dan Konsultan

Sederhana dan Bersahaja Itu Keren, Anak Muda!

Kompas.com - 18/09/2023, 16:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LAGI-lagi masalah pamer kemewahan melibatkan keluarga aparat pemerintah menjadi sorotan. Sebagaimana belum lama berselang, perhatian publik negeri ini tertuju pada anak pejabat yang senang memamerkan kekayaan orangtuanya di media sosial.

Bukankah orang-orang sejak dahulu kala sudah biasa melakukannya? Tentu. Perbedaannya, dulu teknologi media belum seperti sekarang, terutama dengan berkembangnya media sosial sehingga perilaku pamer tersebut, apalagi dilakukan pejabat dan/atau keluarganya, tidak serta merta dilihat khalayak luas, apalagi seantero negeri yang menimbulkan sentimen opini negatif, bahkan cibiran.

Pada awalnya, publik hampir tidak mengetahui perilaku pamer tersebut kalau bukan karena tindakan tak terpuji, yakni agresi, non-fisik dan fisik, yang dilakukan kepada orang lain.

Apakah karena pejabat dan keluarganya, maka menyita perhatian publik?

Pamer kemewahan, apalagi dilakukan pejabat dan/atau keluarganya mengusik rasa ingin tahu publik tentang penerapan aturan mengenai gaya hidup, penerapan kode etik dan kode perilaku yang berlaku, kepatuhan terhadap himbauan pimpinan di institusi masing-masing terutama contoh yang ditunjukkan presiden dalam upaya mewujudkan tata pengelolaan pemerintahan yang baik, apakah diikuti aparat pemerintah.

Artinya, pejabat pelaku pamer menimbulkan keingintahuan publik terhadap integritas pejabat di balik kemewahan yang dipamerkan.

Bila terindikasi dari hasil korupsi, selain sangat mungkin menggerus kepercayaan kepada pemerintah, juga dalam situasi ekstrem bisa berakibat pada ketidakpatuhan melaporkan dan membayar pajak, secara umum pembangkangan sipil lainnya. Ini yang sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adakah yang salah bila memamerkan kekayaan? Hutapea dalam tulisannya berjudul Flexing: A Narcissistic Behaviour? pada T-Magz edisi 15 Mei 2022, menyatakan bahwa aksi pamer, apalagi bila berlebihan, sangat mungkin menunjukkan kondisi psikis tak sehat.

Di antaranya adalah tendensi distorsi diri, rasa rendah diri dan harga diri yang rendah di balik keinginan untuk tampil seperti orang yang paling hebat dengan memamerkan kemewahan, merasa paling berhak untuk diutamakan atau didahulukan, tak jarang sangat angkuh, mendominasi, sombong dan arogan.

Terlebih lagi bila memaksakan diri untuk bisa melakukannya karena sebenarnya bukan tergolong kaya, dampaknya bisa terjerat hutang karena sedemikian berupaya untuk bisa pamer dan bergaya hidup mewah.

Pelaku pamer tak jarang mendapat respons, terutama komentar, sangat negatif bahkan serangan balik.

Maksud semula supaya disanjung dan menjadi populer serta mendapat banyak pengikut di media sosial (follower), malah menjadi dibenci karena orang-orang hanya senang melihat saja, tidak untuk berteman dengannya, kecuali orang-orang yang mendapatkan keuntungan darinya atau orang yang hidupnya bergantung padanya.

Lebih jauh, pelaku pamer tak jarang dianggap sama sekali tak memiliki kesadaran dan kepekaan sosial, khususnya dalam situasi sulit dan bila di sekitarnya banyak orang yang mengalami kesusahan.

Pamer kemewahan bisa berakibat membahayakan diri dan/atau keluarga karena menjadi sasaran atau incaran pencuri dan perampok.

Untuk itu, sudah saatnya kalangan terdidik, khususnya anak muda bergerak untuk melakukan edukasi publik bahwa alih-alih pamer kemewahan dan bergaya hidup mewah, hidup sederhana harus digaungkan sebagai sesuatu yang amat berharga, amat bernilai.

Dengan melakukannya, maka sudah mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, khususnya Sila ke-5, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dengan demikian, nilai luhur Pancasila yang terkandung dalam sila dan butir-butirnya telah dibumikan, diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, kesederhanaan, hidup sederhana, merupakan salah satu kualitas positif yang menandakan karakter baik (character strength) dan mengarah pada keutamaan atau kebajikan (virtues) yang menonjol dalam berbagai literatur Psikologi, khususnya Psikologi Positif, yang disebut sebagai temperance.

Menurut Carr dalam tulisannya pada buku Passionate Deliberation tahun 2001, temperance secara sempit dapat diartikan sebagai pengekangan diri dan pengendalian diri.

Mengekang keinginan berarti menahan, menekan atau mencegah diri dari bertindak yang memungkinkan ekspresi hasrat tertentu.

Pengendalian diri artinya tidak sekadar menekan atau meniadakan, melainkan mengelola ekspresi keinginan, lebih kepada pengelolaan emosi.

Dalam hal ini, hasrat dipandang sebagai sesuatu yang negatif sehingga perlu dikekang dan dikendalikan selain karena memang berlawanan dengan rasionalitas.

Makna yang lebih luas dari konsep ini, menurut Carr dalam tulisannya tersebut yang termasuk dalam seri buku Philosophical Studies in Contemporary Culture, tak hanya fisik-biologis, namun juga mencakup proses deliberatif psikologis, sebagai prinsip psikologis umum yang memengaruhi setiap aspek kehidupan moral, serta sinonim dengan keutamaan atau kebajikan (virtue) pada umumnya.

Dalam hal ini, temperance mengacu pada filsuf Yunani Kuno, Plato dengan konsepnya "sophrosune” (sophrosyne).

Di Indonesia, sejauh diketahui penulis, konsep ini dipadankan dengan kata yang sangat bagus, yakni ‘ugahari’ dalam buku tentang pemikiran Plato berjudul ”Platon: Xarmides, tentang keugaharian” yang diterjemahkan dan ditafsirkan oleh Romo Setyo Wibowo tahun 2015.

Sebagai karakter dan keutamaan, temperance bermakna mendalam dan mencakup aspek psikologis, moral, sosial dan kultural, bahkan juga teologis.

Di antaranya dapat ditafsirkan sebagai “moderasi" atau rata-rata atau sedang, yakni bahwa orang yang bajik adalah orang moderat dalam segala hal.

Selain itu, juga dimaknai sebagai tata krama (social manner) yang menekankan pada pentingnya sopan santun dalam kehidupan sosial.

Menurut saya, temperance dapat diartikan dengan sangat memadai sebagai kesederhanaan dan kebersahajaan.

Dalam kata sederhana, mengacu pada KBBI, sudah mencakup kerbersahajaan, Sebaliknya, kata bersahaja juga diartikan sebagai sederhana.

Meski demikian, mengingat kata ini bermakna luas termasuk sebagai lawan dari kerumitan, maka sederhana dalam konteks gaya hidup dapat dipertegas dengan kebersajahaan, yakni hidup yang tidak berlebih-lebihan, yang dimaknai sebagai hidup tak boros, tak menunjukkan kemewahan berlebihan.

Kesederhanaan dan kebersahajaan semestinya ada dalam agenda pendidikan, bersamaan dengan keutamaan lainnya untuk dapat mengembangkan manusia bijaksana, yang akan menghindarkan orang muda dari hal-hal melampaui batas yang menyebabkan kegagalan mengidentifikasi pemahaman, perasaan dan tindakan secara tepat.

Sebaliknya, orang yang sederhana dapat bertindak proporsional, berkeadilan, dilandasi kejujuran, transparansi, dan pembaharuan, selain dapat menyatukan dan menyelaraskannya dengan keutamaan lain, semisal, keberanian dan kemauan bertindak adil serta keteguhan.

Hal ini bersesuaian dengan pandangan Felderhof dalam artikelnya pada Journal of Beliefs and Values tahun 2009 bahwa dalam kerangka pendidikan, temperance ini merupakan salah satu dalam daftar kualitas manusia yang diinginkan untuk dikembangkan dan ditanamkan pada kaum muda.

Kesederhanaan dan kebersahajaan sebagai keutamaan sangat penting dalam hampir semua aspek dan bidang kehidupan, termasuk tempat kerja dan organisasi.

Misalnya dalam kepemimpinan, tak hanya dalam diartikan sebagai berpikir yang sehat, melainkan juga dianggap mewujudkan kendali diri dan kesabaran hingga memungkinkan membangun integritas diri dan menghindarkan diri dari keterpurukan selain dapat memupuk kepemimpinan visioner terfokus yang menerima batasan etis dan memperhatikan kebaikan bersama.

Upaya untuk menanamkan kesederhanaan dan kebersahajaan tidaklah sederhana dan mudah, terutama bagi orang muda yang tak memiliki pengalaman dibesarkan dalam situasi tersebut.

Tidak pula sekadar upaya menundukkan rasa dan hasrat kepada rasio, melainkan suatu proses yang kompleks mencakup kerendahan hati dalam relasi antarpribadi.

Seperti dinyatakan Tangen dalam tulisannya dalam artikel pada Scandinavian Journal for Leadership and Theology yang diterbitkan tahun 2015, menanamkan kesederhanaan menemukan visi dalam perjumpaan dengan yang baik, namun tetap menjadi tanggung jawab pribadi, yakni sebagai kebajikan atau keutamaan berupa kendali atas yang berlebihan, pengendalian diri yang sangat baik, serta menghindarkan diri dari segala yang mengarah pada kegagalan pribadi dan sosial.

Melalui kekuatan karakter apa saja kesederhanaan dan kebersahajaan dapat diupayakan?

Menurut Peterson dan Seligman, sebagaimana dikutip Sanz dan Fontrodona dalam Journal of Business Ethics tahun 2019, ada empat karakter, yakni: pemaafan, kerendahan hati, kehati-hatian, dan regulasi diri.

Shahab dan Adil dalam artikelnya pada PsyCh Journal tahun 2020 menguraikannya lebih rinci sebagai berikut:

Pemaafan adalah kekuatan yang digunakan untuk berhenti merasa marah terhadap orang berbuat salah, menerima kekurangan orang lain, memberi orang kesempatan kedua dan tidak mendendam.

Memaafkan, melindungi individu dari perasaan marah, balas dendam, atau kebencian yang berlebihan.

Adapun kerendahan hati terkait dengan memuji dan mengapresiasi pencapaian orang lain, tidak menonjolkan diri atau tidak mencari sorotan, dan tidak menganggap diri lebih istimewa dari orang lain, sehingga individu terhindar dari kesombongan.

Kehati-hatian ditandai dengan berhati-hati dengan pilihan, tidak mengambil risiko yang tidak semestinya, dan tidak mengatakan atau melakukan hal-hal yang nantinya akan disesali, yang menghindarkan dari kesenangan jangka pendek dengan risiko dan biaya atau akibat jangka panjang.

Terakhir, adalah pengaturan diri, yakni kekuatan karakter yang berhubungan dengan mengatur apa yang dirasakan dan dilakukan, disiplin, mengendalikan selera dan emosi, sehingga diri terlindungi dari nafsu dan keinginan yang berlebihan.

Tentu saja, sebelum melakukan kampanye untuk menggugah kesadaran publik, orang muda semestinya menerapkannya terlebih dahulu dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui lembaga pendidikan dan semua pemangku kepentingan di dalamnya, penanaman kesederhanaan dan kebersahajaan ini semestinya dijalankan terencana dan konsisten melalui keteladanan.

Sebagaimana dinyatakan Bandura dalam Teori Pembelajaran Sosial, tentu saja tanpa mengabaikan beragam faktor yang berperan dan terkait, bahwa perubahan perilaku, baik individual maupun komunal melalui imitasi, melihat sendiri pengalaman orang lain, tindakan nyata, model peran, praktik baik yang diperkuat dengan tepat merupakan cara yang sangat efektif.

Saatnya, anak muda membuktikan bahwa generasi mereka memiliki kepedulian, tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral untuk melakukan perubahan di masyarakat, bangsa dan negaranya.

Salah satunya dengan kesadaran penuh, setidaknya mengurangi, jika hampir tak mungkin menghilangkan perilaku pamer kemewahan yang berlebihan.

Sekali lagi, hidup sederhana dan bersahaja itu keren, anak muda!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com