Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mugi Muryadi
Wiraswastawan dan Pendidik

Pegiat literasi, praktisi dan pemerhati pendidikan

Mengapa Tren Memilih Tidak Menikah Meningkat?

Kompas.com, 18 November 2025, 08:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM tradisi agama, pernikahan dianggap sakral dan penting. Dalam Islam, pernikahan dipahami sebagai sunnah Rasul serta sarana menjaga martabat manusia.

Surah An Nisa Ayat 1 menyatakan bahwa salah satu fitrah manusia adalah diciptakan berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan.

Tujuan dari penciptaan berpasang-pasangan itu agar antara keduanya dapat menikah dan hidup bersama di bawah satu tenda bernama "keluarga".

Dalam Kristen, pernikahan dipandang sebagai perjanjian spiritual yang menyatukan dua insan dalam menjalankan sabda Tuhan.

"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (Kejadian 1:28).

Kini, kesakralan pernikahan berhadapan dengan cara pandang kritis generasi muda. Banyak di antara mereka mulai mempertanyakan, bahkan menolak gagasan bahwa menikah adalah keharusan moral bagi setiap orang.

Data sosial terbaru memperlihatkan adanya perubahan cara pandang yang semakin menonjol di tengah kaum muda Indonesia.

Baca juga: Cucun Syamsurijal: Memahami Psikologi Akrobat Komunikasi Pejabat

Survei Litbang Kompas (16/11/2025) menunjukkan bahwa meskipun 71,8 persen responden masih memandang pernikahan sebagai keharusan bagi semua orang, terdapat 27,1 persen yang menilai bahwa pernikahan tidak lagi bersifat wajib.

Kelompok lajang bahkan menunjukkan sikap lebih progresif: 50,5 persen menganggap hidup melajang sebagai pilihan hidup yang sah dan tidak perlu dibebani stigma.

Temuan ini menandai pergeseran signifikan dalam orientasi nilai generasi modern. Bagi banyak orang, pernikahan kini bukan lagi satu-satunya jalur menuju kehidupan yang utuh, melainkan salah satu opsi di antara berbagai bentuk pencarian makna dan kebahagiaan.

Tren penurunan minat menikah yang terlihat dalam data nasional bukan sekadar angka statistik, tetapi sinyal perubahan orientasi hidup kaum muda Indonesia.

Catatan BPS menunjukkan bahwa dari sekitar dua juta pernikahan pada 2018 menjadi 1,5 juta pada 2023.

Sementara itu, data Kemenag DKI memperlihatkan pola serupa dengan jumlah pernikahan yang merosot dari 47.226 pasangan pada 2022 menjadi 40.472 pada 2024.

Data kepemudaan 2024 yang mencatat 69,75 persen pemuda usia 16–30 tahun belum menikah mengonfirmasi perubahan itu.

Penurunan ini dapat dibaca sebagai bentuk penyesuaian terhadap kondisi struktural, yaitu regulasi yang lebih ketat, tekanan ekonomi meningkat, dan nilai-nilai keluarga yang bergeser menuju orientasi individual.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau