Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mugi Muryadi
Wiraswastawan dan Pendidik

Pegiat literasi, praktisi dan pemerhati pendidikan

Mengapa Tren Memilih Tidak Menikah Meningkat?

Kompas.com, 18 November 2025, 08:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pernyataan Kepala Kanwil Kemenag DKI dalam wawancara RRI Pro3 FM (2025) pun memperkuat bahwa dimensi ekonomi dan sosial menjadi faktor dominan yang menunda atau mengubah keputusan menikah.

Jika dianalisis lebih jauh, data ini memperlihatkan bahwa generasi muda semakin melakukan kalkulasi rasional sebelum memutuskan menikah.

Survei Populix 2025 menunjukkan 53 persen responden memilih memprioritaskan karier, sementara 44 persen merasa hidupnya sudah stabil dan bermakna tanpa pernikahan.

Angka-angka ini tidak hanya menggambarkan preferensi, tetapi juga reaksi terhadap kenaikan biaya hidup, harga properti yang terus melambung, dan ketidakpastian pekerjaan.

Banyak penelitian sosial menunjukkan bahwa ketika tekanan ekonomi meningkat, pernikahan cenderung dibaca sebagai komitmen finansial baru yang berpotensi membebani.

Baca juga: “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

Karena itu, pilihan menunda atau tidak menikah bukanlah indikasi melemahnya nilai keluarga, melainkan adaptasi logis terhadap realitas yang jauh lebih kompleks.

Pergeseran ini menegaskan bahwa keputusan menikah kini semakin dipandu oleh pertimbangan rasional, kesiapan ekonomi, dan evaluasi mendalam terhadap kualitas hidup yang ingin dicapai.

Alasan psikologis juga memengaruhi keputusan generasi muda. Banyak orang takut terhadap risiko kegagalan pernikahan seperti yang terjadi di lingkungannya.

Badan Peradilan Agama mencatat 399.921 kasus perceraian pada 2024. Angka ini jauh di atas tingkat perceraian sebelum pandemi (Badilag MA, 2024).

Mereka yang melihat konflik dalam keluarganya atau mengalami trauma hubungan cenderung menunda pernikahan. Bagi mereka, keputusan melajang menjadi bentuk perlindungan emosional yang dirasa lebih aman.

Kemandirian finansial perempuan turut mengubah peta pernikahan. Pendidikan tinggi dan peluang kerja yang lebih luas membuat perempuan semakin mandiri. Mereka tidak lagi bergantung pada pernikahan untuk stabilitas ekonomi.

Komnas Perempuan mencatat tren perempuan mapan yang memilih child free atau memilih tidak menikah (Qibtiyah, Ruang Asa, 2025).

Qibtiyah menjelaskan alasan lain, bahwa dalam Islam, menikah adalah anjuran, bukan kewajiban. Memiliki anak juga bukan keharusan. Perspektif ini memberi ruang bagi perempuan untuk memilih sesuai kondisi hidupnya.

Perubahan budaya dan kemajuan teknologi kini semakin kuat memengaruhi pilihan hidup generasi muda.

Survei APJII 2025 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia mencapai sekitar 229 juta orang, menandakan hampir seluruh aktivitas anak muda terhubung dengan ruang digital.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau