Pernyataan Kepala Kanwil Kemenag DKI dalam wawancara RRI Pro3 FM (2025) pun memperkuat bahwa dimensi ekonomi dan sosial menjadi faktor dominan yang menunda atau mengubah keputusan menikah.
Jika dianalisis lebih jauh, data ini memperlihatkan bahwa generasi muda semakin melakukan kalkulasi rasional sebelum memutuskan menikah.
Survei Populix 2025 menunjukkan 53 persen responden memilih memprioritaskan karier, sementara 44 persen merasa hidupnya sudah stabil dan bermakna tanpa pernikahan.
Angka-angka ini tidak hanya menggambarkan preferensi, tetapi juga reaksi terhadap kenaikan biaya hidup, harga properti yang terus melambung, dan ketidakpastian pekerjaan.
Banyak penelitian sosial menunjukkan bahwa ketika tekanan ekonomi meningkat, pernikahan cenderung dibaca sebagai komitmen finansial baru yang berpotensi membebani.
Baca juga: “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya
Karena itu, pilihan menunda atau tidak menikah bukanlah indikasi melemahnya nilai keluarga, melainkan adaptasi logis terhadap realitas yang jauh lebih kompleks.
Pergeseran ini menegaskan bahwa keputusan menikah kini semakin dipandu oleh pertimbangan rasional, kesiapan ekonomi, dan evaluasi mendalam terhadap kualitas hidup yang ingin dicapai.
Alasan psikologis juga memengaruhi keputusan generasi muda. Banyak orang takut terhadap risiko kegagalan pernikahan seperti yang terjadi di lingkungannya.
Badan Peradilan Agama mencatat 399.921 kasus perceraian pada 2024. Angka ini jauh di atas tingkat perceraian sebelum pandemi (Badilag MA, 2024).
Mereka yang melihat konflik dalam keluarganya atau mengalami trauma hubungan cenderung menunda pernikahan. Bagi mereka, keputusan melajang menjadi bentuk perlindungan emosional yang dirasa lebih aman.
Kemandirian finansial perempuan turut mengubah peta pernikahan. Pendidikan tinggi dan peluang kerja yang lebih luas membuat perempuan semakin mandiri. Mereka tidak lagi bergantung pada pernikahan untuk stabilitas ekonomi.
Komnas Perempuan mencatat tren perempuan mapan yang memilih child free atau memilih tidak menikah (Qibtiyah, Ruang Asa, 2025).
Qibtiyah menjelaskan alasan lain, bahwa dalam Islam, menikah adalah anjuran, bukan kewajiban. Memiliki anak juga bukan keharusan. Perspektif ini memberi ruang bagi perempuan untuk memilih sesuai kondisi hidupnya.
Perubahan budaya dan kemajuan teknologi kini semakin kuat memengaruhi pilihan hidup generasi muda.
Survei APJII 2025 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia mencapai sekitar 229 juta orang, menandakan hampir seluruh aktivitas anak muda terhubung dengan ruang digital.