KOMPAS.com - Pewarnaan alam menjadi salah satu tahap penting dalam pembuatan ulos Batak.
Di balik satu helai kain yang tampak sederhana, terdapat rangkaian proses yang panjang, mulai dari riset warna hingga pengolahan bahan baku yang bisa berlangsung hingga berbulan-bulan.
CEO Tobatenun, Kerri Na Basaria Pandjaitan, menjelaskan bahwa pewarnaan alam bukan hanya tentang memilih tumbuhan, tetapi juga memahami karakter masing-masing bahan.
“Ini kalau yang ini spesifiknya 1,5 bulan. Tapi research, development, dan juga pewarnaannya itu bisa lebih lama lagi,” ujarnya usai acara MAULIATE, di Sopo Del Tower, Jakarta Selatan, Kamis (4/12/2025).
Baca juga: Lebih dari Sekadar Kain, Makna dan Warisan Tenun Biboki dari NTT
Warna ulos tradisional berasal dari berbagai tumbuhan yang sejak lama digunakan para penenun.
Setiap bahan memberikan karakter warna yang berbeda, sehingga pemilihannya tidak dapat dilakukan sembarangan.
“Kalau pewarnaannya kan alam. Merah itu mengkudu, kuning kunyit. Biru indigo, abu-abu bisa dari ketapang. Terus ungu bisa dari secang, macam-macam sih,” jelas Kerri.
Setiap bahan juga memiliki tantangannya sendiri. Mengkudu misalnya, harus dibiarkan terlebih dulu hingga pigmennya benar-benar keluar.
Baca juga: Tenun, Suara Perempuan yang Jadi Wajah Perlawanan Kebudayaan di NTT
Di samping itu, indigo memerlukan pencelupan berulang, warna birunya akan muncul sedikit demi sedikit setiap kali kain diangkat dari larutan dan terkena udara.
Sementara kunyit dikenal cepat memudar, sehingga membutuhkan perlakuan ekstra agar warna lebih bertahan lama.
Lebih lanjut Kerri menambahkan, proses eksplorasi warna baru masih terus berlangsung. Hingga kini, ia dan Tobatenun telah berhasil membuat lebih dari 30 warna berbahan alam, 19 di antaranya menjadi fokus pengembangan untuk saat ini.
Baca juga: 6 Tantangan Melestarikan Tenun Batak ke Generasi Muda Menurut TobaTenun
Meski memiliki keterbatasan tertentu, warna dari bahan alam sering kali menghasilkan kejutan visual.
Banyak orang tidak menyangka bahwa warna ulos yang tampil kuat atau pekat berasal sepenuhnya dari bahan-bahan alami.
Kerri mengakui, reaksi semacam itu cukup sering ia temui. Banyak yang meragukan apakah warna tersebut benar-benar berasal dari alam karena tampilannya terlihat begitu matang.
Baca juga: Menjaga Tradisi, Membuka Inovasi: Cara Ulos Dekat dengan Generasi Muda
“Kadang-kadang orang suka melihat, ‘ini beneran warna alam?',” cerita Kerri.
Menurut Kerri, meskipun warna-warna terang yang mencolok sulit dicapai dengan bahan alami, beberapa warna justru dapat tampil sangat pekat melalui proses pencelupan berulang.
Hal ini membuat pewarnaan alam mampu menghasilkan nuansa yang lebih kaya dibandingkan dugaan banyak orang.
“Memang dia enggak bisa se-bright itu. Tapi kalau dilihat completely, mereka bilang, ‘oh wow, hitamnya bisa pekat banget ya’,” kata Kerri.
Baca juga: Dari Tenun hingga Perhiasan, Begini 5 Cara Mudah Merawat Warisan Budaya Nusantara
Bagi sebagian orang, hasil tersebut menjadi bukti bahwa pewarnaan alam tidak hanya menghadirkan warna lembut, tetapi juga mampu menghasilkan kedalaman warna yang kuat, kaya, dan berkarakter.
Dengan teknik yang tepat, bahan alam dapat menghadirkan kedalaman warna yang kuat sekaligus mempertahankan karakter khas tenun tradisional.
Selain memperkaya tampilan ulos, penggunaan pewarna alam juga menjadi bagian dari upaya menjaga keberlanjutan.
Pemilihan bahan-bahan dari tumbuhan sekitar lebih ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan limbah kimia, sehingga proses pewarnaan tetap selaras dengan alam.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang